Jakarta (Greeners) – Larangan penggunaan kantong plastik sekali pakai terus meluas di berbagai daerah. Plastik sekali pakai merusak lingkungan karena sulit terurai hingga puluhan tahun. Tak jarang sampah plastik menjadi mikroplastik. Riset dan temuan bioplasticizer sebagai kemasan ramah lingkungan dari sawit menjadi alternatif bijak, pengurangan sampah plastik di Indonesia.
Saat ini hampir 80 daerah mengeluarkan kebijakan larangan kantong plastik sekali pakai. Awalnya, penerapannya hanya di pusat perbelanjaan modern (ritel modern). Saat ini, kebijakan akan meluas ke pasar tradisional. Kota Bogor salah satu kota yang mulai menginisiasi larangan kantong plastik di pasar tradisional.
Riset ini mengantarkan Agus Haryono menjadi salah satu Profesor Riset di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Agus yang juga Plt Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Teknik BRIN ini berharap riset dan inovasinya dapat mengatasi permasalahan lingkungan hidup.
“Selain dapat mengatasi permasalahan lingkungan hidup, sekaligus menambah nilai ekonomi dari produk turunan kelapa sawit,” katanya kepada Greeners di Jakarta, Kamis (30/12).
Saat ini permasalahan sampah plastik telah menjadi masalah yang besar sejak ahli temukan bahaya cemaran mikroplastik di lautan. Apalagi Indonesia mendapat sebutan sebagai negara terbesar kedua di dunia yang menjadi sumber cemaran mikroplastik.
Riset Ungkap Kemasan Ramah Lingkungan Pengganti Plastik Sintetik
Awal abad ke-20 plastik sintetik pertama kali berkembang dan masyarakat gunakan. Kemudian setelah Perang Dunia II, industri plastik berkembang dengan pesat di Amerika Serikat. Penemuan nilon dan plastik konvensional menandai perkembangan industri plastik.
“Manusia sangat terbantu dengan hadirnya plastik dalam kehidupan sehari-hari. Namun sejak tahun 1970-an masyarakat dunia mulai menyadari permasalahan limbah plastik yang merugikan kesehatan dan lingkungan hidup,” kata Agus dalam orasi ilmiahnya baru-baru ini.
Limbah plastik ini tidak dapat terurai oleh mikroorganisme di tanah dan air hingga puluhan tahun. Oleh karena itu, perlu upaya untuk mengembangkan plastik dan kemasan yang lebih ramah lingkungan.
Berdasarkan sumbernya lanjut Agus, polimer terbagi menjadi polimer sintetik dan polimer alami. Plastik konvensional yang beredar di masyarakat sebagai plastik kemasan umumnya berasal dari polimer sintetik yang terbuat dari minyak bumi.
Sebagai negara kaya sumber daya alam, peluang Indonesia mengelola dan memanfaatkan sumber daya sebagai sumber daya alam terbarukan sangat besar. Beberapa biomassa yang dapat bermanfaat sebagai bahan baku polimer alami, antara lain pati, lignin, selulosa, protein, kitosan, poliasam laktat dan minyak nabati.
Pemanfaatan material tersebut dapat mengatasi masalah limbah sekaligus substitusi bahan baku yang berasal dari fosil. Kedua masalah tersebut telah mendorong perlunya mencari material alternatif berbasis sumber daya alam terbarukan, ramah lingkungan dan biodegradable.
Biopolimer dari Kelapa Sawit Dongkrak Industri Sawit
Agus mengungkapkan, salah satu sumber bahan baku biopolimer adalah crude palm oil (CPO) dari tanaman kelapa sawit. Indonesia merupakan negara penghasil kelapa sawit terbesar sejak tahun 2007. Tahun 2019 perkiraan jumlah produksi CPO Indonesia mencapai 450 juta ton. Namun, harga CPO di pasaran internasional cenderung turun dari tahun ke tahun. Harga CPO telah turun 16 % dibanding harga tahun 2017.
“Oleh karena itu, perlu pengembangan produk hilir minyak kelapa sawit dalam rangka peningkatan nilai tambah ekonominya,” ungkapnya.
Seperti minyak nabati lainnya, komponen minyak kelapa sawit terdiri atas trigliserida dan asam lemak yang memiliki rantai panjang hidrokarbon, tanpa ikatan rangkap. Modifikasi stuktur kimia ke dalam struktur senyawa makromolekul dapat memberikan potensi pemanfaatan dengan berbagai fungsi. Salah satunya menjadi kemasan ramah lingkungan dan aman bagi kesehatan.
Temuan bioplasticizer, Agus mulai dengan melakukan modifikasi struktur molekul plasticizer agar mempunyai sifat mekanik dan thermal yang lebih optimal. Inovasi bioplasticizer yang ramah lingkungan akan ikut membantu industri hilir minyak kelapa sawit. Sekaligus menjawab tantangan dari negara-negara Uni Eropa terhadap sawit Indonesia.
Bahkan hasil temuan penting tentang bioplasticizer dari turunan minyak sawit sangat berpeluang untuk diaplikasikan pada industri kemasan kantong darah. Temuan ini sebagai pengganti plasticizer konvensional yang berbahaya bagi kesehatan.
“Capaian temuan penting bioplasticizer dan biopolimer berbasis kelapa sawit ini merupakan temuan yang signifikan bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Kami merekomendasikan agar pemerintah memperbanyak interaksi antara peneliti sawit dengan para pemilik industri dan praktisi sawit. Sehingga hilirisasi hasil riset bisa lebih cepat terwujud,” paparnya.
Penulis : Ari Rikin