Jakarta (Greeners) – Secara bebas, biopiracy diartikan sebagai praktik eksploitasi sumber daya alam dan pengetahuan masyarakat tentang alamnya tanpa izin dan pembagian manfaat. Biopiracy adalah istilah yang menjelaskan masalah pencurian materi genetik yang keberadaannya untuk dikomersialisasikan dan sifatnya hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja.
Enny Sudarmonowati, Deputi Bidang Ilmu pengetahuan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menyatakan, hingga saat ini belum ada angka pasti berapa jumlah potensi hayati negeri ini yang berhasil dicuri oleh peneliti-peneliti asing, lalu dipatenkan di luar negeri. Namun, beberapa kasus yang telah terjadi cukup membuktikan bahwa perlindungan negara terhadap keanekaragaman hayati Indonesia masih belum diperhatikan.
Menurut Enny, para wisatawan asing seringkali mencuri mikroorganisme dengan memasuki kawasan taman nasional melalui modus berwisata.
“Modus praktik biopiracy kebanyakan itu orang dari asing datang ke Indonesia sebagai turis visanya visa turis, tapi dia masuk ke dalam taman nasional, dia bisa mengambil sampel dari daun, kulit kayu, batang bahkan tanah, itu kan kita enggak tahu, susah melacaknya apalagi mendatanya,” ujarnya, Jakarta, Kamis (19/05).
Oleh sebab itu, lanjutnya, diperlukan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga keanekaragaman hayati genetik. Pasalnya, tindakan biopiracy tidak terbatas pada kegiatan pencurian kekayaan genetik secara ilegal dan sembunyi-sembunyi, melainkan banyak praktik biopiracy yang dilakukakan secara legal dan terang-terangan.
Menurut Enny, tindakan biopiracy biasanya diawali dengan bioprospeksi atau proses pencarian sumber daya hayati, terutama sumber daya genetika dan material biologi untuk kepentingan komersial. Kemudian dilanjutkan dengan tindakan yang disebut Intellectual Property atau penggalian pengetahuan masyarakat lokal dan pengumpulan informasi hasil penelitian yang berhubungan dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam setempat.
Masyarakat lokal yang tidak paham dan kurangnya pengetahuan tentang praktik biopiracy dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh para pelaku biopiracy untuk mendapatkan informasi. Ditambah lagi masyarakat setempat yang tidak tahu tentang apa dan siapa yang sedang melakukan penelitian tersebut serta apa tujuannya. Kalaupun tahu, lanjutnya, masyarakat tidak akan mengidentifikasi perusahaan multinasional macam apa yang sedang menguras pengetahuan lokal dan sumberdaya alam mereka, tidak peduli yang bergerak dibidang pangan, obat-obatan, atau lain sebagainya.
“Mereka mendapat ramuan tradisional dari masyarakat lokal, merumuskannya kembali, mengambil sampelnya, membawanya ke negara mereka dan mematenkannya disana. Sehingga mereka dapat menuai untung yang sebesar-besarnya dari produksi obat tersebut,” jelasnya.
Berdasarkan data dari Kementrian Lingkungan Hidup pada tahun 2013, Indonesia yang memiliki luas wilayah 1,3 % dari luas permukaan bumi dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi (mega biodiversity) yaitu sekitar 17 % dari keseluruhan jenis makhluk hidup yang ada di bumi ini. Di dalamnya tersimpan lebih dari 28.000 jenis tumbuh-tumbuhan, diantaranya terdapat 400 jenis buah-buahan asli Indonesia yang dapat dimakan dan bermanfaat. Indonesia memiliki 7.500 jenis tanaman obat yang mana merupakan 10 % dari jumlah tumbuhan obat yang ada di dunia.
Data dari LIPI tahun 2011 juga menunjukkan bahwa Indonesia memiliki 6.000 jenis tanaman bunga, baik yang liar maupun yang dipelihara. Indonesia juga memiliki 707 jenis mamalia, 1.602 jenis burung, 1.112 jenis amfibi dan reptil, 2.800 jenis invertebrata, 35 jenis primata dan 120 jenis kupu-kupu. Selain itu data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan juga mencatat bahwa di perairan Indonesia terdapat 1.400 jenis ikan dan 450 jenis terumbu karang dari 700 jenis terumbu karang yang ada di dunia.
Penulis: Danny Kosasih