Bogor (Greeners) – Memiliki proporsi yang signifikan dari keanekaragaman hayati dunia, Indonesia mewakili titik tumpu untuk konservasi keanekaragaman hayati global. Meskipun menjadi anggota koalisi global dalam upaya konservasi keanekaragaman hayati, Indonesia terus kehilangan keanekaragaman hayati (kehati). Kebijakan Indonesia juga dinilai masih lebih condong pada soal ekonomi dan politik.
Hal ini pula yang disoroti oleh Endang Sukara, anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia sekaligus anggota senat Guru Besar Universitas Nasional (UNAS). Ia mengatakan bahwa ada tiga masalah besar di Indonesia terkait dengan konservasi keanekaragaman hayati. Pertama, kebijakan politik tidak bersentuhan langsung dengan kehati; kedua, Kehati membutuhkan komitmen jangka panjang; dan ketiga, masalah etika makhluk hidup atau bio-ethic yang tidak menjadi landasan kebijakan apapun secara luas dan tegas dan berkelanjutan.
BACA JUGA: Gagal Rampung, Revisi UU Konservasi Belum Menjadi Prioritas
Mengenai kebijakan, Endang mengatakan bahwa Indonesia masuk dalam kesepakatan internasional Konvensi Keanekaragaman Hayati atau Convention on Biological Diversity (CBD) yang diselenggarakan pada tahun 1992 di Rio, Brasil. Selain CBD, Indonesia sendiri terlibat aktif dalam Konvensi Perubahan Iklim (UNFCC), dan Deklarasi tentang Lingkungan dan Pembangunan. Menurut Endang, konvensi keanekaragaman hayati menjadi inti dari peringatan Hari Bumi, terlebih tahun 2019 ini mengangkat tema “Lindungi Spesies Kita”.
“Sayangnya Konvensi Kehati ini tidak terlalu mendapat perhatian yang besar, walaupun pemerintah Indonesia sudah meratifikasi konvensi tersebut ke dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994. Namun, komitmen dari masyarakat dan pemerintah masih kurang. Buktinya, biodiversitas kita hilang terus-menerus padahal tujuan konvensi tersebut adalah menjaga konservasi Kehati kita yang sangat kaya,” kata Endang saat ditemui Greeners di kediamannya di Bogor, Selasa lalu.
Di samping itu, Endang mengatakan masalah ini terjadi karena penggunaan kehati yang tidak berkesinambungan. Akhirnya pada tahun 2010 disepakati Protokol Nagoya yang menyatakan pengguna potensial dari sumber daya genetik memperoleh prior informed consent (PIC) atau Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal dari negara di mana sumber daya genetik berada sebelum mengakses sumber daya tersebut.
“Di dalam Protokol Nagoya dikhususkan tentang pembagian keuntungan dari sumber daya alam kehati, ada juga pembagian keuntungan dari pengunaan ilmu pengetahuan tradisional. Seperti misalnya masyarakat yang sudah memakai jamu sekian lama, kalau ada orang yang mengambil ada tata aturannya dan dalam konvensi sudah dijelaskan. Serta pembagian keuntungan dari hasil-hasil riset yang memberikan suatu nilai kepada biodiversitas,” ujarnya.
BACA JUGA: Indonesia Dinilai Belum Siap Implementasikan Protokol Nagoya
Menurut Endang keserakahan dan biopiracy membuat luas hutan Indonesia saat ini kurang dari 19 juta hektar dari 120 juta ha yang dimiliki sejak dulu. Luasan ini anjlok turun ketika tahun 80an, saat kepemimpinan Presiden Soeharto, seorang manusia bisa menguasai berjuta-juta hektar lahan dengan adanya Hak Penguasaan Hutan.
“Saat ini kita masih dikatakan beruntung karena memiliki lebih dari 50 kawasan konservasi, tapi banyak interfensi dari pihak lain seperti kurangnya penjagaan taman nasional dan ekspansi lahan. Sepertinya rela jika hutan yang dibabat menjadi Hutan Tanaman Industri, ya, sudah tidak apa-apa, mau dijadikan kota (juga) tidak apa-apa. Hanya menghabiskan sumber daya alam tapi tidak menanam. Ditanamnya malah seperti sawit dan akasia monospesies, yang pasti sebagai habitat makhluk hidup sangat berbeda, bukan primary forest (hutan primer) Indonesia lagi,” ujar Endang.
Endang mengatakan Bumi sebagai daya dukung kehidupan manusia turun drastis dan sedang merana. Hal ini sebetulnya sudah bisa dirasakan, seperti air yang dulunya berlimpah kini semakin tercemar, apalagi status Indonesia yang menyandang negara dengan tingkat pencemaran laut tertinggi kedua di dunia.
“Pencemaran tersebut juga melanggar bio-ethic. Dikatakan tidak etis kepada Bumi jika kita memperlakukan Bumi seperti itu. Dalam pengaturan kebijakan, seharusnya teknologi sains dan budaya diperhatikan. (Namun) semua berpengaruh pada politik dan investasi di mana keduanya berjalan mudarat (tidak bermanfaat),” kata Endang.
Penulis: Dewi Purningsih