Jakarta (Greeners) – Masyarakat perlu berpikir ulang menentukan pola konsumsi makanan, penyimpanan dan pengolahannya. Sebab jika tidak, makanan itu berujung menjadi sampah makanan (food waste). Padahal untuk menghasilkan salah satu jenis makanan ada emisi yang terlepas ke bumi.
Bayangkan saja, emisi gas buang sebuah produk pangan bisa terjadi saat penanaman, produksi, distribusi hingga setelah manusia mengkonsumsinya.
Co-founder Zero Waste ID Maurilla Sophianti mengatakan, masyarakat perlu melakukan sejumlah cara untuk mencegah atau mengurangi food waste.
“Pertama mengubah perilaku konsumsi seperti mengambil porsi terlalu banyak. Jika kita mengambil porsi terlalu banyak dan tidak habis maka itu akan membuat sampah makanan (food waste),” katanya dalam webinar Food Waste Mendunia? Yuk Cegah dari Sekarang! di Jakarta, baru-baru ini.
Langkah kedua lanjutnya, menghindari penyimpanan yang kurang baik. Terkadang saat membeli makanan semuanya masuk ke dalam kulkas. Jika terlupa, sayur dan buah di dalam kulkas lambat laun menjadi busuk.
Cara mengatasinya tambah Maurilla, buat daftar belanjaan untuk masakan per harinya. “Karena jika kita hanya membeli bahan-bahan dari daftar belanjaan maka akan mengurangi sampah makanan sehingga tidak ada lagi bahan-bahan makanan yang busuk,” paparnya.
Keempat, mengubah gaya hidup seperti memasak berlebihan. Memasak makanan terlalu banyak terkadang tidak habis seketika dan berpeluang menjadi food waste. Kelima, konsumen perlu lakukan preferensi dalam berbelanja. Selanjutnya keenam, jadikan menghabiskan makanan menjadi budaya.
“Saat makan, ambilah makanan secukupnya dan jangan berlebihan. Semua penyebab food waste terjadi di daerah kekuasaan kita dan itu ada solusinya. Dulu pada saat kita masih kecil kita sering dibilang kalau makan enggak habis nanti nasinya nangis,” imbuhnya.
Cari Alternatif Kelola Food Waste
Maurilla mengingatkan, makanan yang berlebihan bisa diolah kembali misalnya olah nasi putih yang tidak habis menjadi nasi goreng.
Food waste adalah makanan yang dibuang padahal masih layak konsumsi. Food bisa terjadi di toko grosir, layanan makanan dan rumah tangga.
Co-Founder & CEO Garda Pangan Eva Bachtiar menilai, banyak sekali sampah makanan di perkebunan. Panen petani yang mengalami penurunan standar supermarket memicu food waste. Padahal sumber pangan itu masih layak konsumsi meski tampilannya tidak sempurna.
“Ketika ada stroberi tidak layak masuk supermarket, Garda Pangan bisa mengolahnya menjadi juice atau selai,” kata Eva.
Saat ini lanjutnya, hampir 24% rumah tangga sering membuang makanan basi atau busuk karena membeli terlalu banyak makanan. Rumah tangga ini tidak menyadari memiliki makanan yang tersimpan di lemari esnya. Membuat perencanaan belanja sangat Garda Pangan rekomendasikan.
Beri Dampak Buruk ke Lingkungan
Melansir dari berbagai sumber food waste telah memberikan dampak bagi lingkungan. Sampah makanan menghasilkan gas metana. Sampah makanan yang masuk ke tempat pemrosesan akhir dan mengalami pembusukan akan menghasilkan gas metana. Lalu gas metana ini yang menyebabkan efek rumah kaca (GRK) dan berkontribusi terhadap terjadinya perubahan iklim. Oleh sebab itu pengomposan sampah makanan dapat menurunkan jumlah emisi GRK yang terlepas ke atmosfer.
Makanan yang terbuang sia-sia juga menandai pemborosan air. Masa pertumbuhan, pemanenan, pengangkutan dan pengemasan membutuhkan air. Kemudian food waste merusak tanah. Lahan yang terus menerus terpakai untuk produksi pangan apabila tanpa perawatan akan menurun produktivitasnya. Tanah pun akan kehilangan kemampuan dalam memproduksi makanan.
Tak hanya itu, sikap tak bijak terhadap makanan juga membahayakan biodiversitas. Tak sedikit flora, fauna mengalami kemusnahan saat produksi makanan. Misalnya karena adanya alih fungsi lahan dan penangkapan ikan-ikan besar. Kurangnya flora dan fauna ini akan berdampak pada penurunan keanekaragaman hayati.
Penulis : Ihya Afayat