Jakarta (Greeners) – Hari Konservasi Kehidupan Liar Sedunia setiap 4 Desember harus jadi momentum meningkatkan kesadaran pentingnya pelestarian flora dan fauna yang terancam punah. Selain itu juga memastikan penjagaan habitat satwa liar. Sebab perannya di alam luar biasa, salah satunya mencegah bencana ekologis.
Praktisi Konservasi Wawan Ridwan mengatakan, salah satu aspek serius yang masih menjadi persoalan yakni menurunnya habitat satwa liar. Baik secara kualitas maupun luasan sebagai akibat dari kegiatan manusia.
“Selain konversi hutan, perambahan kawasan konservasi seperti taman nasional, hutan lindung, cagar alam hingga suaka margasatwa berdampak pada pengurangan habitat satwa,” katanya kepada Greeners, Sabtu (3/12).
Selain itu, ia menyebut faktor lain yakni ancaman gangguan langsung satwa liar adalah perburuan satwa. “Mulai dari perburuan harimau, pembunuhan gajah yang keluar dari habitatnya (hutan) seperti diracun,” ucapnya.
Wawan menilai pentingnya kampanye penyadartahuan kepada masyarakat untuk meningkatkan kepedulian tentang pentingnya perlindungan satwa. Terutama satwa-satwa yang dilindungi dan peningkatan patroli pengawasan kawasan konservasi.
Selanjutnya, harus ada peningkatan penegakkan hukum terhadap setiap terjadi tindakan pelanggaran hukum tentang perlindungan satwa dan habitatnya.
Kawasan Konservasi Kritis
Laporan citra satelit organisasi non pemerintahan Garda Animalia mengungkap kawasan konservasi dalam kondisi kritis, bahkan sudah rusak parah. Seperti halnya Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau di tahun 2020. Hutan alamnya hanya tersisa 16,8 %.
Setidaknya lebih kurang 50 % atau 40.469 hektare (ha) lahan di TNTN telah berubah menjadi kelapa sawit ilegal.
Sebelumnya, Kepala Balai TNTN Heru Sutmantoro mengungkapkan, hutan yang ada di sepanjang Sungai Tesso dan Nilo hanya tinggal 16 % dan tak luput dari perambahan.
Sementara itu, permasalahan perdagangan satwa ini juga masih menjadi ancaman global. Kejahatan ini menempati peringkat ketiga dengan total kerugian terbesar setelah perdagangan narkotika dan human trafficking. Angka kerugiannya pun fantastis, yakni mencapai US$ 23 miliar atau Rp 341 triliun.
Sebelumnya, Rektor Universitas Pakuan Didik Notosudjono menyatakan, Indonesia merupakan salah satu dari 17 negara berjuluk megabiodiversity di dunia menyusul potensi besar satwa liar dan tumbuhan langka.
Satwa liar memiliki peranan penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem hingga memastikan kesatuan rantai makanan dan mencegah bencana ekologis.
Selain itu, di Indonesia satwa ini juga merupakan simbol potensi keanekaragaman hayati yang tak negara lain miliki, seperti burung jalak bali, orangutan hingga cendrawasih.
Nilai Perdagangan Satwa Liar Rp 15 Triliun
Ironisnya, Indonesia justru memiliki nilai perputaran uang perdagangan satwa liar secara ilegal mencapai Rp15 triliun per tahun. “Selain sebagai negara sumber, Indonesia merupakan pasar potensial dalam perdagangan satwa liar ilegal,” kata Didik.
Berbagai macam modus dan level pelaku kriminal kejahatan ini, bahkan hingga skala antarnegara dan benua. Setidaknya dalam tiga tahun terakhir, paling sedikit terdapat 187 kasus perdagangan satwa liar dilindungi dengan barang bukti hampir 13.000 ekor satwa hidup, dan lebih dari 1.200 bagian tubuh satwa.
Namun, ia menyayangkan persoalan ini belum dianggap serius. Pasalnya, hukuman para pelaku kejahatan perdagangan satwa liar ilegal ini yang masih rendah daripada nilai kerugian negara.
“Dalam banyak kasus pelaku dapat hukuman 8 bulan hingga 1 tahun pidana dengan denda Rp 2 juta hingga Rp 10 juta saja,” ucapnya.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin