Biarkan Monyet Ekor Panjang Hidup di Alam daripada Diekspor

Reading time: 2 menit
Macaca fascicularis di alam harus dilindungi. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Primata merupakan cerminan manusia. Oleh karena itu dalam peringatan Hari Primata Indonesia setiap 30 Januari harus membangkitkan kesadaran agar manusia di bumi hendaknya hidup berdampingan dengan primata salah satunya monyet ekor panjang (Macaca fascicularis).

Pakar primata dari Universitas Indonesia Jatna Supriatna menyebut, genetik primata dekat dengan manusia. Dari perilakunya kita belajar adaptasi dengan kehidupan alam. 

Saat ini, kurang lebih 63 spesies primata ada di Indonesia. Tepatnya negara terkaya primata ketiga setelah Brazil dan Madagaskar. Namun, ironisnya sekitar 50 % masuk dalam kategori terancam.

“Kita berharap tidak ada penurunan drastis populasi mereka dan kita harus sadar akan keberadaan mereka,” katanya kepada Greeners, di Jakarta, Senin (30/1).

Konflik Monyet Ekor Panjang

Sementara itu, demi menangani konflik monyet ekor panjang dengan masyarakat setempat di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Yogya mengekspor ke luar negeri. Ekspor monyet ekor panjang untuk tujuan riset biomedis ini bukan hal baru.

Kelebihan populasi monyet ekor panjang di Yogyakarta, terutama Gunungkidul menjadi alasan kebijakan ekspor ini. Pada tahun 2021, sebanyak 300 ekor monyet ekor panjang di Gunungkidul ditangkap dan diekspor.

Tahun lalu, BKSDA Yogya menambah kuota ekspor menjadi 1.000 ekor pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sebelum akhirnya ditolak. Alasan penolakan ini yakni karena belum adanya dasar ilmiah untuk menentukan kuota tangkap.

Jatna menilai, daripada mengekspor monyet ekor panjang ke luar, lebih baik memanfaatkannya untuk tujuan ekowisata primata. “Sehingga semua pihak, termasuk masyarakat bisa berkontribusi untuk melindungi mereka,” imbuhnya.

Jatna berpendapat, konflik berkepanjangan antara Macaca fascicularis dan masyarakat setempat tak semata dapat diselesaikan dengan kebijakan ekspor.

“Di satu sisi tentu ekspor monyet ekor panjang ini ada syarat-syarat khusus seperti harus dipastikan virus free hingga karantina. Tidak bisa ekspor langsung,” tegasnya.

Meski jumlah populasi Macaca fascicularis sangat banyak, tapi Jatna menekankan pentingnya keberlanjutan spesies ini. 

Macaca fascicularis. Foto: Freepik

Alih Fungsi Lahan Pemicu Konflik

Konflik antara Macaca fascicularis dan masyarakat setempat terjadi di daerah-daerah seperti di Gunungkidul, Sleman, Kulonprogo, hingga Bantul.

Jatna menyatakan, kerusakan habitat imbas alih fungsi lahan menjadi ladang pertanian hingga pemukiman menjadi pemicu konflik berkepanjangan ini. Ia menyorot seharusnya BKSDA mampu menangani permasalahan ini dengan mengembalikan monyet-monyet ini ke habitat aslinya di hutan.

“Berbeda dengan owa yang teritorialnya harus sesuai, monyet ini tidak teritorial sehingga bisa kita pindah ke hutan,” ujar dia.

Jatna mengingatkan jangan sampai sikap BKSDA Yogya ini karena kepentingan bisnis belaka. “BKSDA tugasnya melestarikan dan melindungi, bukan menjual monyet ini,” tandasnya.

Kajian Populasi dan Sebaran 

Menanggapi hal itu, Peneliti Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi BRIN Wanda Kuswanda menyatakan,  ada beberapa kriteria untuk kebijakan ekspor Macaca fascicularis ini. Misalnya menghindari individu produktif yang ada di alam.

Wanda mengungkap alasan penolakan 1.000 ekor monyet karena pentingnya aspek kebutuhan data populasi yang lebih komprehensif. “Harus ada kajian kembali populasi dan sebarannya. Jangan salah ambil dan mengancam keberadaan mereka,” ucapnya.

Penulis: Ramadan Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top