Jakarta (Greeners) – Pertanian di Indonesia terus berhadapan dengan perubahan iklim dan hama yang mengancam produktivitas pangan. Asosiasi nirlaba CropLife Indonesia mempertegas bahwa perlu adopsi benih bioteknologi demi menjaga ketahanan pangan nasional dan meningkatkan kesejahteraan petani.
Bioteknologi pertanian merupakan alat baru dalam ilmu perbaikan tanaman. Teknologi ini memanfaatkan teknik penggabungan atau penyambungan sel dan gen (DNA) untuk menyempurnakan tanaman dan menghasilkan produk atau benih baru.
Direktur Eksekutif CropLife Indonesia, Agung Kurniawan mengatakan, saat ini pemerintah terbuka dan mendukung upaya-upaya pengembangan bioteknologi. Misalnya, budidaya tanaman dan benih bioteknologi atau Produk Rekayasa Genetika (PRG).
BACA JUGA: Pupuk SNI, Obati Kerisauan Petani dari Ancaman Gagal Panen
“Namun, proses riset yang panjang dan regulasi yang kompleks membuat distribusi benih bioteknologi di Indonesia cenderung lebih lambat daripada negara lain,” ungkap Agung dalam acara Kelas Jurnalis “Adopsi Bioteknologi untuk Transformasi Pertanian Indonesia” di Jakarta, Jumat (2/2).
Misalnya, di berbagai negara seperti Filipina, benih-benih dan tanaman bioteknologi sudah dapat petani akses dan hasilnya juga publik konsumsi secara luas bersamaan dengan versi konvensional. Bahkan, selama periode 1996-2020, petani Filipina mengalami peningkatan hasil produksi panen dengan adopsi benih bioteknologi sebanyak 23,5%.
“Kami berharap Indonesia bisa segera menyusul langkah baik tersebut. Croplife Indonesia telah berupaya mengadvokasi praktik pertanian modern ini agar terus mendapat dukungan pemerintah. Kemudian, tentunya mendapat penerimaan baik oleh masyarakat,” lanjut Agung.
Selain itu, menurut Agung, perubahan iklim, hama yang semakin kebal pada produk perlindungan tanaman, dan lahan yang kian berkurang membuat petani sulit memenuhi kuota produksi pangan. Sehingga, harus mengimpor dari negara lain.
“Pada akhirnya, ketahanan pangan nasional kita bisa terancam jika tidak ada intervensi di bidang sains dan teknologi,” kata Agung.
Bioteknologi Masih Dianggap Negatif
Banyak anggapan tidak tepat atau negatif terkait benih bioteknologi. Padahal, benih ini sudah mendapatkan pernyataan aman dari berbagai lembaga riset dunia.
Biotechnology and Seed Manager CropLife Indonesia, Agustine Christela Melviana mengatakan bahwa perkembangan tanaman dan benih dengan ilmu bioteknologi aman dikonsumsi. Bahkan, keamanan bioteknologi telah dikaji oleh World Health Organization (WHO), Food and Agriculture Organization (FAO), dan U.S. Environmental Protection Agency (EPA).
BACA JUGA: Berbelanja Hasil Pertanian dengan Aplikasi TaniHub
“Kalau di Indonesia, kita punya Komisi Keamanan Hayati yang ditopang oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2005 (PP No. 21/2005) tentang Keamanan Hayati untuk Produk Rekayasa Genetika. Peraturan itu yang memastikan keamanan PRG, baik untuk keamanan pangan, pakan maupun lingkungan,” terangnya.
Christela mengasumsikan, penggunaan benih jagung hasil rekayasa genetik di Indonesia dengan luas lahan yang sama dapat meningkatkan produktivitas petani sebesar 10% per hektare. Sehingga, hal ini dapat meningkatkan pendapatan petani lebih dari Rp2 juta per hektare.
Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian (Kementan), tahun 2023 rata-rata produktivitas jagung nasional sebanyak 5,8 ton per hektare. Dengan adanya bioteknologi ini bisa meningkat 10% menjadi 6,38 ton per hektare.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia