Dalam beberapa waktu terakhir, bencana di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) di sejumlah wilayah Indonesia mengalami titik kritis. Misalnya, TPA Sarimukti di Bandung terancam tutup akibat gunungan sampah yang melebihi kapasitas. Bahkan, baru-baru ini TPA tersebut mengalami kebakaran.
Hal yang sama juga terjadi di TPA Piyungan Yogyakarta. TPA tersebut tidak mampu lagi menampung kiriman sampah akibat daya tampung terbatas.
Tampaknya banyak kota dan kabupaten di Indonesia akan menghadapi permasalahan penuhnya TPA dalam waktu dekat. Rekonstruksi pemikiran tentang pola pengelolaan sampah harus menjadi prioritas dalam lembaga-lembaga daerah yang menanganinya, seperti Dinas Kebersihan atau Dinas Lingkungan Hidup setempat. Termasuk menciptakan pola kolaborasi kreatif yang berdampak pada penurunan beban timbulan sampah di TPA.
“Banyaknya TPA yang mulai penuh, lalu banyak bencana, saya pikir ini jadi momentum penting untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah secara benar,” ujar Direktur Penanganan Sampah Ditjen PSLB3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Novrizal Tahar kepada Greeners, Rabu (30/8).
BACA JUGA: Kebakaran TPA Sarimukti Potret Buruk dari Praktik Open Dumping
Menurut Novrizal, penuhnya TPA tersebut tidak terlepas dari belum seriusnya penerapan mandat UU Nomor 18 Tahun 2008 yang masih dalam konsep “kumpul, angkut, buang”. Sementara, saat ini paradigma penanganan sampah telah berkembang dalam lima tahap. Di antaranya pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir.
Menurut Novrizal, langkah yang perlu dilakukan adalah pengurangan sampah di hulu secara mandiri. Khususnya dalam menyelesaikan persoalan sampah di Kota Bandung.
“Pengurangan sampah di hulu itu menjadi utama sekarang untuk masyarakat dan pemda di Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat. Mereka sekarang dipaksa untuk menyelesaikan persoalan sampahnya di hulu,” ungkapnya.
Pemerintah Daerah Bisa Dikenai Sanksi
Tim Regulasi Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB), Difa Ghiblartar menyatakan, pemerintah daerah bisa mendapat sanksi hingga gugatan atas kelalaiannya dalam mengelola TPA Sarimukti.
“Pemerintah daerah bisa mendapat sanksi administrasi atas pencemaran yang terjadi di TPA Sarimukti berdasarkan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) oleh KLHK. Itu tertulis dalam Pasal 76 UU PPLH apabila ada pelanggaran terhadap izin lingkungan,” ujar Difa kepada Greeners melalui keterangan tertulis, Jumat (1/9).
Di samping itu, lanjut Difa, masyarakat juga dapat mengajukan gugatan atas situasi yang terjadi di TPA Sarimukti. Gugatan tersebut adalah class action dengan membuktikan kerugian langsung dan jumlah kerugian dari setiap penggugat.
Selain itu, ada juga gugatan citizen lawsuit. Warga negara Indonesia dapat mengajukan gugatan kepada pemerintah dalam menerbitkan peraturan untuk mendorong perbaikan tata kelola TPA dan gugatan perbuatan melawan hukum.
Penganggaran Daerah Hambat Pengelolaan Sampah
Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan ICEL, Fajri Fadhillah mengatakan aspek lingkungan hidup dalam urusan pemerintahan daerah–termasuk di bagian pelayanan wajib non dasar–adalah sebuah tantangan.
“ICEL bersama anggota Aliansi Zero Waste Indonesia sudah mengidentifikasi salah satu kondisi yang menghambat implementasi pengelolaan sampah yang efektif. Salah satunya aturan tentang pemerintahan daerah yang tidak memasukkan pengelolaan sampah sebagai urusan pemerintahan konkuren wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar,” kata Fajri kepada Greeners melalui keterangan tertulis.
BACA JUGA: TPA Penuh Cerminan Tata Kelola Sampah Belum Efektif
Sementara itu, urusan pengelolaan sampah saat ini masuk dalam kategori urusan pemerintahan wajib non pelayanan dasar. Hal tersebut akan berpengaruh pada penganggaran daerah yang tidak memadai.
Selain itu, lanjut Fajri, penggunaan anggarannya pun mayoritas untuk penanganan sampah di hilir, yakni tindakan yang diambil ketika sampah sudah timbul.
“Tidak heran beban penanganan sampah menjadi besar. Itu terlihat pada timbulan sampah di hilir seperti di TPS dan terutama di TPST atau TPA yang melebihi kapasitas,” ujar Fajri.
Oleh karena itu, menurut Fajri, salah satu reformasi hukum di bidang pengelolaan sampah adalah mengubah ketentuan pengelolaan sampah menjadi urusan pemerintah daerah konkuren wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar. Hal itu menjadi langkah awal untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas penganggaran dan kelembagaan untuk pengelolaan sampah di daerah.
KLHK Dorong Langkah Masif
Melihat peristiwa penuhnya TPA di sejumlah wilayah Indonesia, KLHK pun terus mendorong agar melanjutkan langkah-langkah yang sudah ada secara masif.
“Kami, kan, sudah melakukan banyak perubahan, sebenarnya. Misalnya, ada kewajiban produsen mendorong gerakan-gerakan pilah sampah. Kemudian, mendorong pemerintah daerah mengolah sampahnya dari sumber itu,” ucap Novrizal.
Menurut Novrizal, pemerintah daerah perlu mempercepat langkah tersebut secara masif dengan berkolaborasi. Sebab, pemerintah daerah tidak bisa menjalankannya sendirian. Mereka perlu ada dukungan dari gerakan masyarakat, misalnya social ecopreneurship, bank sampah, dan sebagainya.
“Kita dorong percepatan langkah-langkah yang sudah ada ini secara masif. Kita tingkatkan solidaritas dari kolaborasi yang baik, itu yang perlu sekarang kita lakukan. Jadi, darurat sampah ini menjadi momentum sebenarnya,” ujar Novrizal.
Ia mencontohkan, Kota Yogyakarta membangun bank sampah berbasis RW. Selain itu, ada pengolahan sampah organik warga. Bahkan, setiap rumah memiliki lubang biopori untuk mengolah sampah organik.
“Jadi, ternyata bisa menyelesaikan persoalan di level RW. Itu yang mungkin perlu kita dorong sekarang, yang penting adalah kolaborasi,” kata Novrizal.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia