Jakarta (Greeners) – Lima tahun terakhir tren bencana hidrometeorologi mendominasi kejadian bencana. Terjadinya bencana ini tidak terlepas dari campur tangan manusia yang membebani alam. Mempertahankan daya dukung dan daya tampung lingkungan sangat perlu untuk mengurangi risiko bencana yang kerugiannya bisa mencapai puluhan triliun per tahunnya.
Pelaksana tugas (Plt) Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Abdul Muhari mengatakan, selain menimbulkan kerusakan, korban jiwa, dampak bencana tidak langsung cukup memberi kerugian material.
“Mengutip pernyataan Menteri Keuangan setidaknya kerugian bencana per tahunnya mencapai Rp 20 triliun,” katanya kepada Greeners di Jakarta, Rabu (13/10).
Setiap 13 Oktober dunia memperingati hari pengurangan bencana alam. Momentum ini menurut Abdul menjadi waktu tepat untuk membangkitkan kesadaran dan kesiapsiagaan seluruh komponen masyarakat di Indonesia.
Data BNPB menyebut, lima tahun terakhir periode tahun 2016-2020 telah terjadi 17.032 kali kejadian bencana. “Di mana 16.833 (98,8%) di antaranya adalah climate related disasters atau bencana hidrometeorologi. Bencana hidrometeorologi ini dari tahun ke tahun meningkat jumlah kejadiannya,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, iklim dan cuaca memiliki siklus. Namun ketika ada upaya memperbaiki dan mempertahankan daya dukung dan tampung lingkungan dapat meminimalisir risiko bencana hidrometeorologi.
“Kita tidak bisa membuat zero bencana, hanya bisa meminimalisir. Berbicara climate, berbicara lingkungan. Kita harus jaga alam dan alam akan jaga kita,” tegasnya.
Daya Tampung Lingkungan Baik Kurangi Risiko Bencana
Terkait bencana hidrometeorologi, Abdul menjelaskan, ada hidrometeorologi basah seperti banjir, banjir bandang, longsor, cuaca ekstrem, gelombang pasang dan abrasi. Sedangkan hidrometeorologi kering meliputi kekeringan serta kebakaran hutan dan lahan.
“Terlihat bahwa kejadian bencana hidrometeorologi ini sangat kuat hubungannya dengan faktor manusia,” imbuhnya.
Banjir, banjir bandang, longsor erat kaitannya dengan perubahan fungsi guna lahan sepanjang daerah aliran sungai (DAS), kawasan lereng dan daerah tangkapan air (catchment area). Alih fungsi ini menyebabkan berkurangnya daya tampung dan daya dukung lingkungan.
Sementara itu lanjutnya, kebakaran hutan dan lahan lekat dengan aktivitas pembukaan lahan untuk perkebunan. “Ini bukan masalah fenomena climate changenya, tapi what we can do restore the nature is matter,” ucapnya.
Terkait bencana hidrometeorologi yang selalu berulang, perlu solusi permanen yang berbasis ekosistem untuk penanggulangan berkelanjutan. Menurutnya, solusi jangka pendek berupa kesiapsiagaan sambil menyusun solusi jangka panjang berbasis ekosistem.
“Artinya avoiding risk. Jika ada prakiraan cuaca hujan ekstrem dari BMKG, maka masyarakat yang berada di sepanjang DAS, kawasan kelerengan curam harus bisa melakukan evakuasi mandiri jika kondisinya memang mengharuskan demikian,” paparnya.
Ia pun memberi petunjuk antisipasi atau evakuasi jika ada potensi bencana hidrometeorologi karena hujan ekstrem. Masyarakat di sepanjang DAS dan lereng curam perlu memerhatikan kondisi di luar rumah atau bangunan. Saat tidak bisa melihat objek berjarak 30 meter karena intensitas hujan sangat lebat dan berlangsung hingga 1 jam, segera lakukan evakuasi sementara hingga hujan reda.
Jika kondisi hujan lebat tersebut terjadi di hulu, maka masyarakat di hulu harus bisa memberikan peringatan dini potensi banjir (dengan melihat tinggi muka air di hulu) kepada masyarakat di hilir.
“Jejaring komunikasi sepanjang DAS ini sudah banyak yang terjalin baik di kawasan-kawasan yang pernah mengalami banjir,” imbuhnya.
Alami Suhu Terpanas
Sebelumnya Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengungkapkan, pemerintah kabupaten/ kota harus mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan terburuk dari bencana alam serta dampak perubahan iklim.
BMKG memprediksi kejadian badai tropis, banjir, banjir bandang, longsor, angin kencang dan kekeringan akan lebih sering terjadi dengan intensitas kuat. Begitu pun prediksi es di puncak Jaya Wijaya Papua akan punah tahun 2025 dan naiknya muka air laut.
“Mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim sudah mendesak untuk mencegah risiko dan kerugian yang lebih besar,” kata Dwikorita dalam keterangannya.
Ia membeberkan fakta rilisan World Meteorological Organization bahwa suhu tahun 2020 menjadi salah satu dari tiga tahun terpanas yang pernah tercatat. Selain itu temperature rata-rata global mencapai 1,2 derajat Celcius lebih tinggi dari pada tahun 1850an.
Berdasarkan pengamatan BMKG, tahun 2020 menjadi tahun terpanas kedua dalam catatannya. Pengamatan pada 91 stasiun BMKG menunjukkan suhu rata-rata permukaan tahun 2020 lebih tinggi 0,7 derajat Celcius dari rata-rata periode referensi tahun 1981-2010.
“Situasi ini memicu pergeseran pola musim dan suhu udara yang mengakibatkan frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologi,” ucapnya.
Kejadian kebakaran hutan dan lahan tidak hanya karena kondisi kekeringan yang ekstrem, tetapi juga menyebabkan peningkatan emisi karbon dan partikulat ke udara.
Penulis : Ari Rikin