Jakarta (Greeners) – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengakui masih sulit untuk mengetahui dampak pertumbuhan penduduk di perkotaan terhadap perubahan iklim. Pasalnya, daerah-daerah penerima migran masih belum pernah diketahui apakah migrasi tersebut dilakukan karena dampak perubahan iklim atau tidak.
Kepala Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dra. Haning Romdiati, M.A kepada Greeners mengatakan, di Indonesia, saat ini masyarakat migran yang melakukan migrasi hanya bersifat sementara dan banyak terjadi di daerah-daerah yang memang rentan terhadap dampak perubahan iklim seperti daerah wilayah tani atau perairan nelayan.
“LIPI belum pernah melakukan penelitian pertumbuhan penduduk di perkotaan dan perubahan iklim. Itu sulit. Di Indonesia ini kan migrasinya hanya sementara, tidak permanen. Hanya yang karena wilayahnya terdampak gangguan iklim seperti hujan besar atau banjir rob sehingga kegiatan ekonominya terganggu. Jika gangguan iklim sudah hilang, para migran itu akan kembali lagi ke daerahnya,” jelas Haning, Jakarta, Rabu (13/09).
BACA JUGA: Kebutuhan Lahan, Peningkatannya Berdampak pada Deforestasi dan Perubahan Iklim
Sedangkan untuk wilayah perkotaan, ia mengatakan permasalahan penduduk tidak ada kaitannya dengan perubahan iklim, namun lebih pada kerentanan sektor ekonomi penduduk. Di kota juga dampak perubahan iklim terasa, seperti hujan besar maupun banjir yang mengganggu mata pencaharian. Hanya saja, masyarakat kota tidak melakukan migrasi. Masyarakat kota, terusnya, hanya akan diam menunggu gangguan iklim tersebut berhenti hingga iklim kembali normal dan masyarakat bisa beraktifitas lagi.
“Masyarakat di kota tidak terlalu terkena dampak perubahan iklim, masyarakat di daerah yang bertani atau melaut yang justru paling terdampak,” tambahnya.
Lebih jauh ia menerangkan, LIPI sendiri telah melakukan berbagai penelitian dalam rentang rencana strategis (Renstra) 2010-201 melalui Pusat Penelitian Kependudukan (P2K). LIPI, ujarnya, telah mendalami isu perubahan iklim di berbagai wilayah Indonesia yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, serta isu ketenagakerjaan di bidang perikanan. Selama periode Renstra 2010-2014, berbagai penelitian telah dilakukan oleh P2K LIPI.
Kajian ini meliputi, Pertama, migrasi akibat perubahan iklim; Kedua, kesehatan dan perubahan iklim; Ketiga, adaptasi perubahan iklim pada masyarakat petani dan nelayan; Keempat, perubahan iklim pada penduduk perkotaan; Kelima, penyiapan Sumber Daya Manusia (SDM) sektor perikanan; dan Keenam, kebijakan pendidikan dan pelatihan sektor perikanan.
BACA JUGA: Adaptasi Perubahan Iklim untuk Air Bersih Harus Menyeluruh Hingga Hilir
Temuan penelitian di Kabupaten Lamongan, Lombok Timur dan Lombok Utara menunjukkan migrasi menjadi strategi adaptasi terakhir bagi kelompok masyarakat, khususnya petani, yang terkena dampak perubahan iklim. Adanya penurunan hasil produksi lahan dan kegagalan panen memaksa penduduk, khususnya laki-laki dan/atau kepala rumah tangga, untuk bekerja di luar daerah asalnya agar dapat mempertahankan ketahanan ekonomi rumah tangga mereka.
“Paling banyak mereka itu migrasi ke Malaysia karena memang wilayahnya dekat dengan Malaysia. Ini karena faktor sejarah juga tapi mereka tidak menetap, hanya sementara,” ujarnya.
Selain itu, dampak perubahan iklim berupa intrusi air laut dan kenaikan permukaan air laut juga dirasakan oleh komunitas nelayan di pesisir. Kondisi ini berdampak pada penurunan kualitas hidup yang dialami oleh kelompok masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada ketersediaan sumber daya laut dan pariwisata. Perubahan iklim juga berdampak pada kemunculan kembali penyakit vector seperti malaria dan demam berdarah di beberapa daerah di Indonesia.
“Adanya perubahan iklim ini cukup berdampak pada banyak hal, terlebih pada sektor ekonomi informal seperti pertanian dan nelayan. Dari sisi sosial demografi, sektor pekerjaan yang sangat bergantung pada iklim tersebut yang paling banyak terdampak, pungkasnya.
Penulis: Danny Kosasih