Jakarta (Greeners) – Suku-suku di Papua memiliki kearifan dan strategi ketahanan pangan untuk bertahan hidup. Warga mampu menyediakan pangan lokal secara mandiri menggunakan praktik sistem pertanian tradisional yang telah diterapkan turun-temurun selama ribuan tahun. Teknik pertanian disesuaikan dengan daerah masing-masing seperti dataran tinggi, dataran rendah, hingga pesisir.
Dosen Biologi Fakultas MIPA Universitas Cenderawasih Jayapura, Daawia Suhartawan mengatakan, masyarakat tradisional Papua bertani menggunakan sistem polikultur atau penanaman campuran yang dapat menjamin keamanan pangan. Cara tersebut lebih diterapkan dibanding sistem penanaman monokultur yang telah menimbulkan polusi air, tanah, dan udara. Penggunaan pupuk maupun pestisida dalam pertanian modern juga menyebabkan ledakan hama dan herbisida kimiawi yang berbahaya bagi kesehatan manusia serta kesehatan Bumi.
“Sistem polikultur ini dipraktikkan selama ratusan tahun dan menjamin ketahanan pangan serta kemakmuran. Kita perlu belajar cara bertani orang Papua,” ujar Daawia pada Diskusi Daring Kupas Tuntas Ketahanan Pangan Masyarakat Adat Papua pada Masa Pandemi, Rabu, 29 April 2020.
Baca juga: Pemerintah Berencana Bangun Fasilitas Pengolah Limbah B3 Tambahan
Menurutnya sistem pertanian tradisional di wilayah Timur Indonesia ini dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu peladangan berpindah dan pertanian menetap. Di lembah Baliem dan daerah sekitar Danau Paniai, sistem bercocok tanam berpindah diterapkan di lereng dan kaki bukit. Sedangkan pertanian menetap dilakukan di dasar lembah dan tepi sungai. Adaptasi juga dilakukan untuk menyesuaikan kondisi dan jumlah penduduk yang jauh lebih tinggi.
“(Kegiatan) Bertani masyarakat Papua tergantung pada tempat mereka hidup. Perladangan berpindah dilakukan pada lahan yang kurang subur. Sedangkan pertanian menetap diterapkan pada lahan yang lebih subur,” ujar Daawia.
Ia menuturkan ketahanan pangan ditanggapi secara berbeda oleh suku-suku yang hidup di dataran tinggi, dataran rendah, dan daerah pesisir. Suku di dataran tinggi seperti Dani, Yali, Kapauku, dan Amungme, misalnya, mereka mengandalkan ubi jalar, ubi kayu, uwi, pisang, buah merah dan sayur-sayuran, serta beternak babi.
Sedangkan suku di dataran rendah mengandalkan sagu, menerapkan sistem berkebun, dan mengumpulkan hasil hutan. Sementara di daerah pesisir, Suku Ormu dari Pegunungan Cycloop, Sentani dan suku Kimaam dari Pegunungan Kolepom, Merauke, berpindah ladang dengan menanam keladi dan uwi maupun tanaman lain seperti singkong, pisang, hingga ubi jalar.
“Satu keluarga memiliki dua atau tiga kebun yang bisa ditanami dan dipanen secara bergantian sehingga sangat jarang mengalami kekurangan pangan. Mereka juga memiliki strategi memanen secara bertahap. Petani hanya memanen ubi jalar yang berukuran besar, yang kecil dibiarkan tumbuh hingga mencapai ukuran besar. Ini juga merupakan strategi penyimpanan dan pengawetan makanan di dalam tanah,” ujar Daawia.
Pangan Lokal Papua Tergeser Komoditas Baru
Masuknya pertanian modern seperti persawahan dan perkebunan sawit yang bukan kultur dari Papua, mempengaruhi pola pertanian dan membuat masyarakat tak mampu bersaing.
“Banyak hutan sagu habis dibabat untuk kepentingan pembangunan, pertanian, perumahan, pertanian sawit, sawah, dan bahkan tanaman lain. Ada banyak tanaman baru yang mempengaruhi tanah papua, seperti kopi, cengkeh, dan pala,” ujar Pendiri Papua Jungle Chef, Charles Toto.
Ia mengatakan pertanian tanaman baru yang terus dilakukan di Papua akan merusak sistem pangan lokal di sana. Menurutnya, pemerintah daerah seharusnya membuat kebijakan untuk melindungi hutan sagu. “Bila perlu dijadikan stok pangan di bulog dan sentra gudang sehingga masyarakat tradisional benar-benar menikmati pangan lokalnya sendiri,” kata dia.
Baca juga: Sagu, Tanaman Pangan Lokal Alternatif di Indonesia Timur
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Papua Barat, Feki Yance Wilson Mobalen menuturkan, salah satu contoh pergeseran pangan lokal Papua ini telah terjadi di Kampung Waijan, Pulau Salawati, Raja Ampat. Dusun Sagu digusur dan digantikan lahan padi atau persawahan.
“Begitu pula di Kabupaten Sorong, Kampung Wonosobo, ada perluasan jalan untuk kawasan ekonomi yang akan berada di tengah dusun sagu,” ujarnya.
Menurut Feki pergusuran tanah-tanah masyarakat adat Papua yang menghasilkan pangan lokal seperti sagu sudah terjadi sejak 2016 lalu dan masih terjadi perluasan lahan hingga saat ini.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani