Jakarta (Greeners) – Nexus3 Foundation bersama Asosiasi Arnika (Republik Ceko) dan International Pollutants Elimination Network (IPEN) meminta Pemerintah Indonesia memperketat pembatasan bahan kimia beracun.
Desakan ini harapannya Indonesia suarakan di Conference of the Parties (COP) terkait Konvensi Basel dan Stockholm di Jenewa pada 6-17 Juni 2022. Hal ini menyusul temuan Nexus3 atas bahan kimia berbahaya dalam produk konsumen yang terbuat dari sampah plastik daur ulang yang ada di Indonesia.
Melalui konfirmasi studi ekstensif, bahan kimia berbahaya dari golongan senyawa penghambat api atau brominated flame retardants (BFRs) terdapat dalam produk konsumen sehari-hari. Mulai dari mainan anak-anak, aksesoris rambut, perlengkapan kantor, atau peralatan dapur yang konsumen beli di Indonesia dan negara lain.
Pada semua sampel yang mereka uji, ada temuan BFR yang tercantum dalam Konvensi Stockholm dan harus global hapuskan. BPR ini awalnya produsen tambahkan ke produk plastik elektronik untuk mengurangi risiko kebakaran.
Bahan ini masuk polutan organik persisten (POPs) dan dapat membahayakan khususnya anak-anak dan wanita usia subur. Selain itu, turut mereka temukan sampel mengandung dioksin brominasi dan BFR lain.
Kepala Arnika Program Toksik dan Limbah Jindrich Petrlik menyatakan, pentingnya segera menyadarkan ancaman bahan kimia berbahaya. Apalagi terdapat pada produk yang anak-anak dan wanita usia subur gunakan.
“Kelompok ini sangat sensitif terhadap paparan bahan kimia beracun, termasuk beberapa senyawa BFR atau dioksin terbrominasi. Harus mengatur batasan bahan kimia beracun dalam produk. Serta batasan konsentrasinya pada limbah yang akan didaur ulang,” katanya dalam keterangannya, baru-baru ini.
Kadar Bahan Kimia Beracun Setara dengan Abu Pembakaran Sampah
Kadar senyawa dioksin terbrominasi yang diukur dalam mainan dan produk konsumen lainnya dari Indonesia sebanding dengan abu pembakaran sampah atau limbah berbahaya lainnya.
Temuan ini sekaligus menunjukkan bahwa produk konsumen yang mereka uji terbuat dari plastik e-waste daur ulang tanpa aturan batas akhir masa pakainya. Kalangan LSM menyoroti hal ini karena sifatnya sangat beracun bagi manusia dan lingkungan.
Untuk menuju ekonomi sirkular yang bebas racun penting menetapkan batas rendah kandungan POPs dalam limbah yang ketat. Sehingga dapat mencegah daur ulang senyawa BFR persisten menjadi produk baru, serta menghentikan ekspor limbah yang terkontaminasi ke negara berkembang.
Walaupun amandemen Konvensi Basel telah Indonesia ratifikasi, namun belum ada larangan pembatasan senyawa BFR persisten.
Konvensi Basel merupakan perjanjian internasional mengikat yang mengatur perdagangan limbah berbahaya dan beracun secara global. Sementara Konvensi Stockholm mengatur penggunaan, pengelolaan, serta lepasan Polutan Organik Persisten (POPs).
Tidak Ada Batasan Aman untuk POPs
Penasihat Senior dari Nexus3 Foundation Yuyun Ismawati menyebut, saat ini hanya ada beberapa standar konsentrasi POPs yang tersedia dalam peraturan Indonesia, terutama dalam definisi limbah berbahaya.
“Namun, mengingat tingginya risiko dampak kesehatan dalam jangka pendek dan panjang untuk perempuan dan laki-laki dari segala usia, pihak berwenang di Indonesia harus menetapkan bahwa tidak ada batasan aman untuk POPs manapun,” tegasnya.
Selain itu, sambung dia transparansi definisi, pengangkutan, pengolahan dan pembuangan limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) sangat Indonesia dan dunia perlukan. Hal ini untuk mendukung langkah pengelolaan dan perlindungan kesehatan penduduk Indonesia, serta pelestarian lingkungan.
“Kami meminta perwakilan delegasi Indonesia untuk mendukung usulan pembatasan yang lebih ketat pada POPs. Termasuk pada senyawa BFR dalam limbah, yang 53 negara Afrika usulkan untuk melindungi kesehatan masyarakat dan lingkungan,” ungkapnya.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin