Jakarta (Greeners) – Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan bahwa curah hujan tahun ini tidak berbeda dengan tahun sebelumnya. Bahkan, Kepala Humas BMKG Hary Tirto Djatmiko mengatakan bahwa curah hujan hanya faktor kecil yang bisa menyebabkan banjir.
Ia menduga banjir besar yang melanda beberapa kabupaten dan kota seperti di Kota Bandung, Kabupaten Karawang, dan Kota Tangerang akibat kesalahan tata guna lahan dan tata kelola air. Menurut Hary, meskipun hujan dengan intensitas tinggi terjadi, namun jika tata guna bangunan dan tata kelola air dilakukan dengan baik, maka bencana banjir bisa di minimalisir.
“Banjir yang terjadi di beberapa wilayah di Jawa Barat bukan karena curah hujannya. Ini perlu adanya pengkajian dan analisis dari sisi tata guna lahan dan tata kelola air yang buruk,” jelasnya, Jakarta, Rabu (16/11).
BACA JUGA: Puncak Musim Hujan Diprediksi Meningkatkan Bencana Hidrometeorologi
Seperti banjir yang terjadi di Karawang, Jawa Barat. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, mengatakan, buruknya drainase di Karawang beberapa waktu lalu telah menyebabkan banjir. Banjir yang sempat merendam Dusun Simargalih RT 02/RW 06 Desa Parungsari di Kecamatan Ciampel dan Komplek Surya Cipta Karawang yang merendam 15 unit rumah setinggi 25 sampai 150 cm disebabkan karena adanya penyempitan tiang jembatan di Sungai Cirinjing.
“Banjir di Karawang contohnya, itu bukan disebabkan karena melimpahnya air di Waduk Saguling. Tidak ada kaitan antara melimpahnya Waduk Saguling dengan banjir di Karawang kemarin. Melimpahnya Waduk Saguling pun seharusnya tidak akan memberikan dampak kepada masyarakat di Bandung karena aliran Waduk Saguling ke Utara sementara Bandung lebih tinggi posisinya dan berada di Tenggara Waduk Saguling,” katanya.
BACA JUGA: Dihantam Banjir, DBMP Kota Bandung Turunkan Regu Reaksi Cepat
Luasnya daerah aliran sungai yang kritis, kerusakan lingkungan, degradasi sungai, tingginya kerentanan dan masih terbatasnya mitigasi struktural dan non struktural di masyarakat juga menyebabkan bencana terus meningkat. Saat ini, lanjut Sutopo, jutaan jiwa masyarakat tinggal di daerah-daerah rawan bencana. Ada 64 juta jiwa masyarakat yang terpapar dari bahaya banjir dengan intensitas sedang hingga tinggi. Begitu juga dengan longsor, ada 40,9 juta jiwa masyarakat yang terpapar oleh bahaya longsor sedang hingga tinggi.
“Mereka semua tinggal di zona merah dengan kemampuan mitigasi yang masih terbatas, sehingga saat terjadi hujan sebagai pemicu maka terjadi bencana” kata Sutopo.
Beberapa daerah yang sebelumnya jarang terjadi bencana, terusnya, saat ini justru mudah mengalami bencana. Misalnya Kota Bandung yang secara beruntun mengalami bencana. Pada Minggu lalu, Kota Bandung kembali direndam banjir karena hujan beritensitas tinggi dan drainase perkotaan yang sudah tidak mampu menampung aliran air di permukaan. Hujan es dan angin kencang terjadi di beberapa tempat sehingga menyebabkan pohon tumbang. Stasiun keretaapi di Kota Bandung juga terendam banjir.
“Hingga saat ini Pemerintah Kota Bandung juga belum membentuk BPBD sehingga penanganan darurat di lapangan terhambat. Pemkot Bandung belum ada rencana membentuk BPBD karena masih bisa ditangani Dinas Penanggulangan Pemadam Kebakaran. Namun saat terjadi bencana alam, fungsi komando menjadi sulit dilaksanakan,” katanya.
Penulis: Danny Kosasih