Jakarta (Greeners) – Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Nusa Tenggara Timur mengidentifikasi penyebab kematian paus biru yang terdampar di Pantai Nunhila, Kecamatan Alak, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Hasil pengamatan morfologi dan identifikasi organ dalam menunjukan bahwa Balaenoptera musculus itu mati secara alami karena sakit saat bermigrasi melintasi perairan Laut Sawu dan Teluk Kupang.
Menurut Kepala BBKSDA NTT Timbul Batubara, kematian paus jantan yang diperkirakan berumur 70 hingga 80 tahun itu bukan karena pencemaran laut maupun sampah plastik. Timbul menyebut dari hasil pembedahan (nekropsi) dari kulit paus juga tidak ditemukan luka luar. Sementara organ dalam seperti lambung, usus halus, usus besar, dan anus sudah dalam keadaan membusuk. Ia juga mengatakan tidak ditemukan sisa makanan, benda asing, sampah, dan sebagainya.
“Kondisi saluran pencernaan paus yang kosong tidak terisi makanan mengindikasikan bahwa paus sudah lama tidak makan sebelum mati. Diduga kematiannya dari faktor umur dan sakit,” ujar Timbul kepada Greeners saat dihubungi melalui telepon, Minggu, (26/07/2020).
Baca juga: Hari Mangrove Sedunia, Pemerintah Targetkan Rehabilitasi Ekosistem Mangrove
Sebelumnya pada Senin (21/7) seekor paus biru dengan panjang 29 meter, lebar tubuh bagian kepala 1,3 meter, lebar tubuh bagian ekor 1 meter, dan lingkar perut 14,5 meter ditemukan terdampar di perairan Kupang. Saat ditemukan tubuh paus telah mulai membusuk dan terdapat luka lecet di ekor akibat lama tergenang di air laut dan terkena batu karang di sekitarlokasi. Namun, tidak ditemukan luka akibat benda tajam seperti tombak dan baling-baling kapal.
Menurut Timbul kematian mamalia laut hingga akhirnya terdampar di perairan NTT sering terjadi. Pada tahun ini, misalnya, terdapat dua kasus mamalia laut yang mati terhempas di perairan Kupang.
“Kupang memang jalurnya migrasi ikan, mamalia, ikan besar seperti hiu maupun lumba-lumba. Jadi wajar ketika banyak ditemukan mamalia laut mati terdampar. Jika seperti itu pasti kita kuburkan secara utuh dan sesuai SOP,” ujar Timbul.
Hal tersebut juga dibenarkan oleh Kepala Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang Ikram M. Sangadji. Kawasan Laut Sawu yang di dalamnya termasuk Teluk Kupang menjadi jalur perlintasan paus dan lumba-lumba. Ia mengatakan, pada Oktober tahun lalu terdapat 17 ekor paus terdampar di Perairan Sabu Raijua, NTT. Perubahan cuaca hingga terganggunya sistem navigasi paus, kata dia, dapat menjadi penyebab mamalia terdampar.
“Untuk paus terdampar di Teluk Kupang baru sekali ini, tapi di tempat lain di kawasan Laut Sawu ini sering terjadi. Laut Sawu memang perlintasannya mamalia seperti paus dan lumba-lumba,” ujar Ikram.
Baca juga: Privatisasi Air Mendorong Kerusakan Lingkungan
Saat ini paus biru tersebut sudah dikuburkan sesuai dengan Panduan Penanganan Mamalia Laut Terdampar dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Hal tersebut untuk menghindari pemanfaatan bangkai paus dan menghindari munculnya sumber penyakit.
Ikram menjelaskan bahwa proses penanganan dilakukan dengan menyiapkan kuburan berukuran 30x4x2,5 meter menggunakan 2 ekskavator dan penembakan bangkai oleh Tim Direktorat Polair untuk mengeluarkan gas dari dalam perut paus agar mudah direlokasi.
Rencana ke depan, Ikram mengatakan, rangka paus biru akan diambil kembali setelah satu tahun dan dilakukan rekonstruksi rangka untuk dijadikan bahan penelitian maupun pendidikan di museum mamalia laut.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani