Jakarta (Greeners) β Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) menyoroti berbagai kelemahan dalam tata kelola pengelolaan sampah di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Tata kelola sampah di sana kerap jadi model keberhasilan. Banyak pihak mendorong untuk mereplikasi tata kelola di Kabupaten Banyumas ini. Namun, fakta di lapangan masih menunjukan permasalahan mendasar yang belum terselesaikan dan sangat serius.
AZWI menilai keberhasilan pengelolaan sampah di Kabupaten Banyumas masih bersifat semu karena tidak memenuhi prasyarat utama tata kelola. Di antaranya regulasi yang jelas, kelembagaan yang kuat dan keberlanjutan, serta pendanaan yang memadai. Selain itu, partisipasi berbagai pemangku kepentingan dalam proses pengelolaan sampah masih belum optimal.
Data menunjukkan tahun lalu terjadi penumpukan sampah sekitar 5.000 ton di berbagai fasilitas pengelolaan sampah di Kabupaten Banyumas. Pemicu kondisi ini adalah kendala teknis dan keterbatasan teknologi yang belum memenuhi standar kualitas. Sehingga, berpotensi menimbulkan dampak lingkungan yang lebih luas.
BACA JUGA: AZWI: RDF Solusi Palsu Penanganan Sampah Perkotaan
βMengembangkan kebijakan dan proyek nasional berdasarkan kesuksesan sementara, tanpa pondasi tata kelola yang kuat, menyebabkan terjadinya pemborosan APBN dan APBD. Selain itu, menyebabkan kita kehilangan waktu untuk mengatasi krisis sampah secara tuntas,β ungkap Direktur Eksekutif Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB), David Sutasurya dalam keterangan tertulisnya, Jumat (21/3).
Menurut David, alih-alih mendorong pencegahan dan pengurangan sampah dari sumbernya, kebijakan yang didorong dan diterapkan masih bertumpu pada teknologi mahal. Solusi ini tidak menyelesaikan akar permasalahan tata kelola.
Minimnya sistem pemilahan sampah yang efektif, lemahnya penegakan regulasi, serta kurangnya transparansi dalam pengelolaan anggaran juga mengakibatkan solusi yang ditawarkan hanya sementara. Hal ini terjadi tanpa adanya perubahan sistemik yang signifikan.
βApabila tidak segera diperbaiki, kelemahan tata kelola yang tidak tepat ini berisiko menimbulkan beban jangka panjang bagi masyarakat dan lingkungan di masa depan,β tambahnya.

AZWI menyoroti berbagai kelemahan dalam tata kelola pengelolaan sampah di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Foto: AZWI
Tata Kelola Sampah Jauh dari Optimal
Pemerintah Kabupaten Banyumas juga mengklaim mengubah sampah jadi Refuse Derived Fuel (RDF) sebagai salah satu keberhasilan dalam pengelolaan sampah. Namun, menurut AZWI, kenyataan di lapangan masih jauh dari optimal.
Hasil pemeriksaan laboratorium oleh Nol Sampah tahun 2024 menemukan bahwa sampel bahan baku RDF dan paving mengandung klorin. Temuan ini mengindikasikan potensi pelepasan senyawa karsinogen dioksin dan furan selama proses pembakaran. Hal ini akan menghasilkan beban kesehatan jangka panjang bagi masyarakat dan kontaminasi rantai makanan.
Direktur Nol Sampah Surabaya, Hermawan Some, mengatakan bahwa bahan baku paving plastik di tempat pemrosesan akhir (TPA) Banyumas terdiri dari plastik campuran. Ia juga menyebutkan bahwa di TPA tersebut tidak ada pemilahan plastik. Apabila kandungan klorin dalam produk RDF tinggi, membakar RDF berpotensi menghasilkan dioksin dan furan yang berbahaya untuk kesehatan dan lingkungan.
βPerlu ada pencegahan dan pemantauan emisi dioksin dan furan sebagaimana yang diatur Permen LHK No. 70 tahun 2016,β ucapnya.
Lemahnya Kelembagaan
Sementara itu, AZWI juga menilai adanya kegagalan berbagai pemerintah daerah di Indonesia dalam menerapkan Peraturan Kepala Daerah (PERKADA) tentang pemilahan, pelarangan, serta pengurangan produk dan kemasan sekali pakai. Kegagalan tersebut menunjukan lemahnya kelembagaan dan kurangnya komitmen pendanaan pemerintah untuk melakukan pembinaan dan pengawasan yang berkelanjutan.
Sejak awal kehebohan pengelolaan sampah Banyumas, AZWI juga telah melihat bahwa kisah keberhasilan pengelolaan sampah di Kabupaten Banyumas βtoo good to be trueβ.
Menurut mereka, pemerintah pusat dan pemerintah daerah sering lupa bahwa program masif di Kabupaten Banyumas hanya dapat berjalan karena keberanian pimpinan daerah. Pimpinan daerah mengalokasikan sekitar 6 persen APBD untuk pengelolaan sampah. Sebagian besar dari dana tersebut untuk investasi.
BACA JUGA: AZWI: Polusi Plastik Tak Bisa Teratasi Tanpa Pembatasan Produksi
Sayangnya, kebijakan tersebut tidak didukung oleh amanat alokasi anggaran yang kuat pada dokumen perencanaan daerah. Padahal, anggaran operasional pengelolaan sampah perlu terus tersedia dalam jumlah memadai.
Selain itu, dari sisi kelembagaan, pada dasarnya Kabupaten Banyumas menggunakan pendekatan βlepas tanganβ. Artinya, hal ini sama saja dengan pemerintah daerah lain yaitu mengandalkan pada Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Kelompok ini merupakan lembaga informal sebagai pengelolaan fasilitas pengelolaan sampah. Akibatnya, sangat sulit mempertahankan kinerja pengelolaan sampah secara berkelanjutan.
David menambahkan bahwa AZWI menyambut baik inisiatif dari Kementerian Lingkungan Hidup untuk menerapkan penegakan hukum yang tegas kepada kabupaten dan kota. Namun, masih banyak pekerjaan lain yang perlu diselesaikan untuk membangun ekosistem tata kelola yang mendukung pemerintah daerah.
Negara Lain Berhasil Kelola Sampah
Sejatinya, kisah sukses dalam pengelolaan sampah sudah banyak terjadi di berbagai kota di negara berkembang dan bukan hal baru. Siquijor di Filipina, Shanghai di China dan Bangalore di India telah membuktikan keberhasilan pengelolaan sampah.
Namun, hal itu juga mendapat dukungan rancangan regulasi yang baik dan kebijakan kelembagaan yang kuat. Dukungan lainnya berupa pendanaan yang memadai, edukasi masyarakat, dan penegakan hukum yang tegas. Hal tersebut menjadi prasyarat utama untuk mencapai kinerja pengelolaan sampah yang tinggi, efektif dan berkelanjutan tanpa mencemari lingkungan.
Direktur Ecological Observation and Wetland Conservations (Ecoton), Daru Setyorini memberikan contoh di Kota San Fernando di Filipina. Di sana, dalam waktu satu tahun telah berhasil meningkatkan pengumpulan sampah organik dan daur ulang dari 12 persen menjadi 60 persen. Saat ini, tingkat pengumpulannya telah mencapai 80 persen.
βSemua dilakukan dengan pendekatan pembatasan timbulan, pengumpulan terpilah dan pengomposan komunal di tiap barangay (desa) tanpa kegiatan pemusnahan sama sekali,β tegas Daru.
Daru menambahkan, Filipina memiliki peraturan yang tegas mewajibkan semua barangay menyediakan sarana. Negara ini juga menjalankan sistem layanan pengelolaan sampah terpilah dan pengolahan organik. Pemerintah Filipina melakukan penilaian tahunan pada kinerja barangay dan akan memberikan sanksi jika pengelolaan sampah tidak terlaksana dengan baik.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia