Jakarta (Greeners) – Pengamatan BMKG berdasarkan Citra Satelit Himawari dan Satelit Sentinel, teridentifikasi adanya peningkatan jumlah titik-titik panas potensi asap karhutla secara mencolok di beberapa wilayah ASEAN.
Peningkatan tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga terjadi di wilayah Semenanjung Malaysia dan sebagian Vietnam yang memicu peningkatan kabut asap dan menyebar secara lokal di wilayah masing-masing, namun tidak menyebabkan terjadinya asap lintas batas (transbondary haze).
Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan asap yang timbul di Semenanjung Malaysia terjadi karena lonjakan signifikan jumlah hotspot lokal yang hampir merata di wilayah Semenanjung Malaysia pada tanggal 6 September 2019, sebanyak 1.038 titik panas menjadi 1.423 titik panas pada tanggal 7 September 2019.
BACA JUGA : Titik Api Pemicu Karhutla di Riau Mulai Berkurang
Sementara itu, di wilayah Riau dan perbatasan Sumatera Timur dengan Malaysia terjadi kebalikannya, yaitu penurunan jumlah titik panas secara signifikan, dari 869 titik panas dari tanggal 6 September menjadi 544 titik panas pada tanggal 7 September.
“Kondisi arah angin juga tidak memungkinkan adanya asap lintas batas dari Indonesia, karena sejak tanggal 5 September hingga 9 September arah angin di wilayah perbatasan Riau dengan Semenanjung Malaysia cenderung bergerak dari arah Tenggara ke Barat Laut dengan kecepatan 5 – 10 knot, sehingga kabut asap dari Karhutla di Indonesia (Riau) tidak akan mencapai wilayah Malaysia dan Singapura,” ujar Dwikorta pada jumpa pers bersama KLHK dan BMKG di Gedung KLHK, Jakarta, (10/9/3019).
Sementara itu untuk hotspot di wilayah Serawak dan Kalimantan Barat, Dwi menjelaskan jika berdasarkan analisis dari citra satelit Himawari dan analisis Geohotspot BMKG, terdeteksi asap karhutla di wilayah Serawak disebabkan oleh lokal hotspot di wilayah Serawak yang ternyata jumlahnya meningkat terus beberapa hari terakhir.
“Kalimantan barat dan serawak titik panasnya banyak dan padat, sedangkan di Kalimantan selatan tinggi, mengakibatkan CO2 dengan konsentrasi tinggi. Sekali lagi angin mengontrol sehingga tidak ada yang menyebrang ke negara tetangga,” ujar Dwikorta.
Untuk asap yang berasal dari hotspot di Serawak, Semenanjung Malaysia dan Kalimantan Barat ini diperkirakan terakumulasi di perairan Laut Cina Selatan karena ada dorongan angin dari arah Tenggara ke Barat Laut.
Terkait hal tersebut, Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) KLHK, Ruandha Agung Sugardiman juga menjelaskan bahwa kejadian karhutla yang terjadi di Indonesia pada tahun 2019 masih normal.
“Apa yg terjadi di kita ini merupakan fluktuasi tahunan yang biasa terjadi di Indonesia, ini masih di bawah dari Business As Usual (BAU) yang biasa terjadi di Indonesia. Hal ini karena Pemerintah Indonesia telah merubah paradigma dari pemadaman menjadi pencegahan,” ujar Ruandha.
BACA JUGA : Musim Kemarau Datang, Penanganan Karhutla Diintensifkan
Data KLHK sampai 31 Agustus 2019 menunjukkan luas areal lahan dan hutan yang terbakar seluas 328 ribu ha yang berarti masih 35 persen lebih rendah dari luas areal terbakar pada tahun 2018 yang mencapai 510 ha.
Luas areal terbakar tahun 2019 terbagi di lahan gambut seluas 89 ribu, dan di lahan tanah mineral seluas 239 ribu ha. Data ini mengkonfirmasi jika perlindungan areal gambut di Indonesia lebih baik karena luas areal terbakar tidak didominasi pada areal gambut yang sulit dipadamkan melainkan di tanah-tanah mineral yang relatif lebih mudah dipadamkan.
Lalu untuk Penegakan hukum, KLHK bekerja sama dengan Kepolisian RI telah melakukan upaya penegakan hukum kepada perusahaan yang diduga lalai dalam menjaga arealnya dari kebakaran. Ada total 18 perusahaan yang telah disegel arealnya, rinciannya di Kalimantan Barat sebanyak 10 perusahaan, di Jambi 1 perusahaan, di Riau ada 3 perusahaan dan di Kalimantan Tengah ada 4 perusahaan.
Penulis: Dewi Purningsih