Jakarta (Greeners) – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, merespons keputusan Amerika Serikat (AS) yang menarik diri dari Perjanjian Paris. Namun, Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) menilai respons Bahlil menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah terhadap komitmen keadilan iklim. Selain itu, juga ketidakpedulian terhadap penderitaan rakyat yang terdampak krisis iklim.
Bahlil mempertanyakan konsistensi negara yang sebelumnya semangat mendukung Perjanjian Paris, namun kini berbalik arah. Ia menyoroti bahwa komitmen transisi energi untuk mengurangi emisi kini menjadi sebuah tantangan. Bahlil mengatakan Indonesia berada dalam posisi dilematis untuk mengikuti tren global.
Menurut ARUKI, pernyataan tersebut menunjukkan watak pemerintah yang mengabaikan penderitaan rakyat akibat krisis iklim. Selain itu, juga mengabaikan kewajiban hukum serta moral pemerintah untuk memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Indira Hapsari dari Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA) mengatakan bahwa penarikan diri Indonesia dari Perjanjian Paris akan berakibat fatal dengan hilangnya akses pendanaan iklim internasional. Kemudian, tergerusnya kepercayaan global terhadap komitmen pembangunan berkelanjutan, serta mengancam upaya advokasi lingkungan masyarakat sipil.
“Melemahnya komitmen iklim juga mencerminkan pengabaian terhadap jutaan masyarakat rentan yang bergantung pada alam dan memperparah kemiskinan energi,” ungkap Indira lewat keterangan tertulisnya, Jumat (31/1).
Abaikan Kelompok Rentan
Pernyataan Menteri Bahlil yang mempertanyakan kelanjutan Indonesia pada Perjanjian Paris juga dinilai menutup mata terhadap penderitaan, kerugian, dan dampak krisis iklim masyarakat dan kelompok rentan hadapi. Menurut ARUKI, mengabaikan komitmen Perjanjian Paris artinya pada saat yang sama mengabaikan keselamatan rakyat, terutama kelompok rentan dari ancaman krisis iklim yang kian tak terhindarkan.
Padahal, Badan Perubahan Iklim Eropa (Copernicus) mencatat kenaikan suhu bumi untuk pertama kalinya telah melampaui 1.5 derajat C. Di Indonesia, BNPB mencatat pada tahun 2023-2024 telah terjadi 6.827 bencana terkait cuaca dan iklim yang berdampak pada lebih dari 13 juta orang.
Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL, Torry Kuswardono, mengatakan bahwa mundur dari Paris Agreement menunjukkan ketidakmampuan pemerintah Indonesia untuk mengakui adanya dampak yang berbeda terhadap perempuan, anak-anak, dan kelompok rentan. Hal ini bertentangan dengan komitmen yang tercantum dalam Perjanjian Paris.
“Pernyataan Bahlil memperlihatkan bahwa pemerintah tidak mengakui terhadap dampak krisis iklim yang berbeda. Padahal, kelompok rentan telah menghadapi triple planetary crisis. Implementasi Paris Agreement yang berlandas pada prinsip keadilan iklim dapat menyelamatkan rakyat dari triple planetary crisis,” kata Torry.
Paradigma Keliru
ARUKI juga menilai pernyataan Bahlil ini membuktikan watak pemerintah yang tetap memprioritaskan
agenda pembangunan dan ekonomi yang berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam dan industri ekstraktif. Khususnya batubara, di atas komitmen terhadap keadilan iklim yang meniscayakan keselamatan lingkungan, dan keselamatan serta kesejahteraan rakyat Indonesia.
Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan dan Keadilan Iklim ICEL, Syaharani mengatakan bahwa pemikiran yang mendasarkan kedaulatan dan ketahanan energi pada batu bara adalah paradigma yang keliru. Eksploitasi sumber daya alam, khususnya batubara, justru selama ini meningkatkan kerentanan masyarakat, terutama kelompok rentan seperti perempuan dan anak.
“Membangun kedaulatan dan ketahanan energi dengan membiarkan masyarakat menanggung dampak negatif dari batu bara, sama saja dengan tindakan yang secara aktif melanggar hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat,” ujarnya.
Padahal, lanjut Syaharani, energi terbarukan justru menawarkan solusi yang lebih berkelanjutan dan berkeadilan dalam mencapai kedaulatan energi melalui pengembangan energi terbarukan khususnya yang berbasis komunitas.
Desakan ARUKI
ARUKI menyerukan dan menuntut pemerintah untuk mengimplementasikan Perjanjian Paris melalui tindakan konkret. Mereka meminta pemerintah menetapkan target pemensiunan dini PLTU batu bara di Indonesia, serta memfasilitasi dan mendorong transisi menuju energi terbarukan yang inklusif dan adil. Ini sekaligus meningkatkan akses energi bersih bagi rakyat.
Selain itu, ARUKI juga menekankan pentingnya mengedepankan keadilan dalam setiap kebijakan. Mereka menegaskan bahwa kepentingan kelompok rentan tidak boleh dikorbankan dalam penanganan perubahan iklim dan pembangunan.
Terakhir, mereka menyerukan agar segera membahas RUU Keadilan Iklim, yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional. Pembahasan tersebut dapat mereka lakukan dengan melibatkan partisipasi publik yang bermakna, khususnya dari kelompok rentan. Ini sebagai langkah konkret komitmen Indonesia dalam mengatasi krisis iklim. Selain itu, juga menyelamatkan bangsa serta warga global dari bencana iklim.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia