Jakarta (Greeners) – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan bahwa tidak ada yang bisa menjamin kalau isu pelegalan hutan konservasi sebagai lokasi tambang yang sedang dibahas untuk dimasukkan ke dalam draf revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Direktur Jendral Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK, Tachrir Fathoni, mengatakan, pembahasan isu tersebut masih merupakan usulan yang datang dari komunitas industri yang meminta agar posisi minyak dan gas bumi bisa sama dengan panas bumi atau geotermal yang diperbolehkan diambil dari kawasan konservasi.
“Itu masih permintaan dan masukan informal dari komunitas mereka (industri) supaya mereka bisa seperti panas bumi dan sekarang baru jadi bahan perdebatan di internal penyusun draf ini. Jadi enggak ada yang bisa jamin masuk atau tidak masuk,” jelasnya saat dihubungi oleh Greeners, Jakarta Selasa (11/08).
Saat ini, kata Tachrir, Menteri LHK, Siti Nurbaya telah membentuk tim ahli untuk menyiapkan rancangan akademis (academic draft) yang persiapannya masih berjalan. Target perampungannya sendiri diharapkan akan selesai dan diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada bulan Desember tahun 2015.
“Sekali lagi kita menunggu hasil perdebatan ahli dan internal KLHK yang sedang dipersiapkan untuk disampaikan kepada Bu Menteri. Dan, apapun keputusan yang diambi oleh tim penyusun revisi UU ini, kami berharap draf yang telah diserahkan agar segera disetujui oleh DPR,” jelasnya.
Di lain pihak, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Abetnego Tarigan mengungkapkan bahwa praktek-praktek lobi seperti yang dilakukan oleh pihak industri tersebut justru mengancam keberlanjutan hutan. Apalagi saat ini harga minyak dunia tengah turun. Banyak perusahaan minyak yang saat ini malah memberhentikan para pekerjanya.
“Jika usulan tersebut diterima, maka akan membuat kondisi wilayah-wilayah konservasi menjadi semakin beresiko. Tidak dibolehkannya wilayah konservasi untuk dimasuki sebagai lahan eksploitasi ini kan ada banyak alasanya. Sebaiknya KLHK menolak usulan tersebut,” katanya.
Senada dengan Abetnego, Pakar Konservasi yang juga Ketua Pusat Riset untuk Perubahan Iklim Universitas Indonesia, Jatna Supriatna menyatakan mendukung bila revisi UU tersebut dilakukan untuk geotermal dengan alasan geotermal hanya memiliki sedikit jejak pencemaran.
“Namun kalau buat minyak itu pasti harus butuh teknologi yang sangat besar. Lihat di Amerika Selatan, itu kan dibornya di luar kawasan konservasi dan jauhnya bisa puluhan kilometer. Konsekuensinya ada banyak yang harus dibayar dari rusaknya kawasan konservasi, apalagi batubara yang jelas-jelas merusak. Jadi, jangan semuanya dikorbankan,” tutupnya.
Penulis: Danny Kosasih