Jakarta (Greeners) – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mendorong pembentukan payung hukum untuk Anti Strategic Lawsuit Against Public Participation (Anti SLAPP). Hal ini demi memastikan perlindungan hak-hak masyarakat dan pejuang lingkungan hidup dari gugatan dan kriminalitas.
Selain memastikan hak dan akses masyarakat yang terlibat aktif dalam perlindungan pengelolaan lingkungan, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 juga menjamin perlindungan masyarakat dari tuntutan atau gugatan hukum. Salah satunya dalam pasal 66 yang mengakomodir kebijakan Anti SLAPP. Kebijakan ini harapannya dapat menutup celah kelemahan bagi para pejuang lingkungan hidup.
Direktur Penegakan Hukum Pidana, Ditjen Gakkum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Yazid Nurhuda mengatakan, selama ini perlindungan pejuang lingkungan hidup masih belum terstruktur. Ia juga mendorong perlunya perlindungan lewat kolaborasi aparat penegak hukum seperti Polda, Bareskrim, hingga Komisi Yudisial.
“Tapi akan lebih efektif bila dipayungi dengan payung hukum yang lebih kuat. Payung hukum yang bisa seluruh penegak hukum taati,” katanya baru-baru ini.
Yazid menyebut, perlunya peraturan setingkat Peraturan Presiden (Perpres) untuk mendukung Anti SLAPP ini. Ia juga mengingatkan beberapa poin yang harus menjadi pertimbangan, yakni faktor keberlakuan dan ketaatannya. “Karena begitu keluar dan terbit maka harus aparat penegak hukum taati,” ucapnya.
Oleh sebab itu butuh kolaborasi dan kerja sama antar lintas kementerian/ lembaga untuk mendorong payung hukum kebijakan Anti SLAPP ini. “Secara kelembagaan belum, tapi sejauh ini kasus per kasus sudah kami lakukan komunikasi, baik itu dengan pihak kepolisian, hakim, bahkan Komisi Yudisial,” ungkapnya.
Masyarakat dan Aktivis Butuh Perlindungan Lewat Anti SLAPP
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL) Raynaldo G Sembiring mengungkapkan, perlunya komitmen dari beragam pihak seperti KLHK, kejaksaan, kepolisian serta Mahkamah Agung. Tujuannya agar kebijakan Anti SLAPP bisa terpadu dan melindungi partisipasi masyarakat dari potensi kriminalisasi dan gugatan.
Ia menilai mekanisme hukum acara kebijakan Anti SLAPP juga berpotensi terwadahi oleh RUU KUHAP dan RUU KUHAPER. Penting, sambungnya agar kementerian atau lembaga terkait seperti KLHK, kejaksaan, kepolisian dan Mahkamah Agung (MA) bisa memperjuangkan, mengakomodir kebijakan Anti SLAPP.
“Selain itu peraturan-peraturan di tingkat KLHK juga perlu penguatan, penyusunan secara holistik dan terpadu,” ujarnya.
Raynaldo juga menyebut, kebijakan Anti SLAPP secara lebih luas sebenarnya bukan sekadar menekankan partisipasi masyarakat. Tapi memastikan eksistensi terutama bagi mereka yang tinggal di kawasan hutan dan lahan. Hal ini beriringan dengan proyeksi Ditjen Gakkum tentang mekanisme-mekanisme restorative justice dalam upaya pemulihan kawasan terdampak.
“Jadi selain restorative justice yang akan berorientasi pada pemulihan, mereka yang bergantung hidupnya di kawasan hutan membutuhkan penghentian perkara, pemulihan dampak dan korbannya,” paparnya.
Sebelumnya, enam warga di di Bangka Belitung bersama memperjuangkan lingkungan hidup. Mereka melakukan gugatan ke PT Bangka Asindo Agri sebagai penghasil limbah yang mencemari lingkungan. Sayangnya, mereka justru terjerat Pasal 228 KUHP berkaitan dengan penyalahgunaan kewenangan dan pemalsuan. Namun, setelah proses sidang, enam warga menang dengan pasal Anti SLAPP.
Penulis : Ramadani Wahyu