Ancaman yang Menggoyahkan Keanekaragaman Hayati Indonesia

Reading time: 16 menit
Keanekaragaman hayati. Foto: Greeners
Keanekaragaman hayati. Foto: Greeners

Kekayaan keanekaragaman hayati merupakan anugerah yang sangat berharga bagi Indonesia. Keberadaannya memberikan manfaat tak ternilai bagi kehidupan manusia dan keseimbangan lingkungan. Namun, saat ini, kekayaan tersebut kian terancam oleh berbagai faktor perusak. Ini adalah tanggung jawab besar bagi kita semua untuk menghentikan aktivitas yang merusak dan terus menjaga keanekaragaman hayati agar tetap lestari.

Jakarta (Greeners) – Masyarakat Indonesia penting untuk mengetahui bahwa negara mereka bagaikan primadona karena dikelilingi oleh kekayaan keanekaragaman hayati. Bahkan, kekayaannya telah menjadi sorotan dunia. Kaya, indah, dan mempesona—itulah Indonesia dalam pandangan dunia. Keanekaragaman ini mencakup berbagai spesies flora dan fauna serta mendukung ekosistem vital bagi keseimbangan lingkungan global.

Menurut National Geographic Indonesia (2019), peringkat keanekaragaman hayati daratan Indonesia nomor dua setelah Brasil. Namun, jika keanekaragaman hayati lautan juga dihitung, Indonesia menjadi negara dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia.

Berdasarkan data LIPI (2015), Indonesia memiliki sekitar 74 tipe ekosistem alami, mulai dari ekosistem laut dalam, laut dangkal, pantai, hingga padang lamun, dan mangrove. Ada pula ekosistem dataran rendah, hutan dipterokarpa, hutan kerangas, gambut, karst, danau, serta hutan pegunungan bawah, atas, subalpin, dan alpin.

Selain ekosistem alami, Indonesia juga memiliki ekosistem buatan seperti sawah, tegalan, pekarangan, kebun, tambak, dan empang. Berbagai spesies flora, fauna, dan mikroorganisme menghuni setiap ekosistem, sehingga Indonesia memiliki keanekaragaman spesies yang sangat tinggi.

Sayangnya, Indonesia juga terkenal sebagai negara dengan penurunan keanekaragaman hayati yang tinggi. Menurut National Geographic Indonesia (2019), Indonesia berada di urutan keenam sebagai negara dengan kepunahan biodiversitas terbanyak.

Kondisi kekayaan keanekaragaman hayati di Indonesia kini semakin terancam oleh berbagai kerusakan. Keindahan ini mulai ternodai oleh pihak yang tidak bertanggung jawab dan semena-mena merusak kekayaan alam ini. Pepohonan langka yang indah dan satwa langka semakin sulit ditemukan. Kabar kematian satwa dan ancaman kepunahan tumbuhan semakin sering terdengar. Berbagai ancaman kini menggoyahkan kekayaan itu.

Besarnya Peran Keanekaragaman Hayati bagi Bumi 

Pakar keanekaragaman hayati, Dolly Priatna, mengungkapkan bahwa keanekaragaman hayati berperan sangat penting bagi bumi. Keanekaragaman hayati berperan penting dalam penyediaan pangan, mitigasi perubahan iklim, dan pengurangan risiko bencana. Apabila keanekaragaman hayati ini semakin rusak dan hilang, tentunya dapat mengancam keberlanjutan sistem pendukung kehidupan di bumi.

Indonesia yang kaya dengan berbagai jenis flora dan fauna merupakan sumber daya alam yang penting. Tanaman dan hewan lokal dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan pangan, obat-obatan, dan bahan baku industri, serta memberikan peluang ekonomi bagi masyarakat.

Keanekaragaman hayati seperti hutan tropis berfungsi sebagai penyangga yang penting dalam mencegah bencana alam. Hutan yang sehat dapat mengurangi risiko banjir, tanah longsor, dan erosi tanah, serta mengatur siklus air.

Namun, berbagai ancaman terhadap keanekaragaman hayati di Indonesia juga bukanlah isu spekulatif. Ancaman itu terus bergulir menghancurkan kekayaan ini akibat aktivitas manusia yang tidak mempertimbangkan kelangsungan hidup makhluk lainnya. 

Tayangan video di media sosial—seperti orang utan yang kelaparan, harimau yang terpaksa meninggalkan habitatnya, gajah dan badak yang mati ditembak pemburu, serta hutan yang dibabat habis untuk alih fungsi—menunjukkan gambaran nyata dari ancaman ini.

“Keanekaragaman hayati menghadapi ancaman serius, termasuk deforestasi, perubahan iklim, eksploitasi pertambangan, perburuan liar, dan pencemaran. Kondisi ini sangat kompleks dan menyedihkan.”

Bayangkan jika spesies endemik yang langka akan punah tanpa habitat yang layak, hutan semakin gundul, dan pepohonan hijau yang indah menghilang. Lalu, tempat tinggal mereka berganti menjadi gedung-gedung tinggi atau bahkan dieksploitasi untuk kepentingan bisnis kotor seperti pertambangan. Ini menunjukkan bahwa kondisi keanekaragaman hayati akan semakin hancur, akibat tindakan manusia yang telah mengorbankan makhluk lain di alam demi kepentingannya sendiri. 

Pemandangan di Danau Sentarum, Kalimantan Barat, menjadi tempat tinggal bagi banyak flora dan fauna. Foto: BBTN Betung Kerihun Danau Sentarum

Pemandangan di Danau Sentarum, Kalimantan Barat, menjadi tempat tinggal bagi banyak flora dan fauna. Foto: BBTN Betung Kerihun Danau Sentarum 

Habitat Flora dan Fauna Berkurang 

Kepada Greeners, Dolly sebagai Direktur Eksekutif Belantara Foundation berbagi perbandingan kondisi keanekaragaman hayati saat ia memulai karier konservasinya sekitar 35 tahun lalu, pada akhir 1980-an. Menurut Dolly, luas hutan dan ekosistem yang menjadi habitat flora dan fauna  menurun signifikan, terutama di Sumatra, Kalimantan, Jawa, dan Bali.

“Dengan berkurangnya luas hutan dan ekosistem, banyak jenis tumbuhan dan hewan liar juga menghilang. Dulu, pada akhir 1980-an atau awal 1990-an, sangat mudah menemukan berbagai jenis burung. Seperti murai batu dan cucak rawa di hutan yang kini sulit kita temukan,” ungkap Dolly.

Ia menambahkan bahwa jenis satwa liar lainnya juga semakin sulit ditemukan. Konflik antara satwa liar dan manusia pun semakin meningkat.

Data global telah menunjukkan penurunan keanekaragaman hayati. Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa seperempat spesies hewan di dunia terancam punah, dengan sekitar 1% sudah dinyatakan punah (Finn et al., 2023). Studi avifauna Eropa memperkirakan penurunan 17-19% dalam kelimpahan burung sejak 1980, yang berarti kehilangan antara 560-620 juta individu burung (Burns et al., 2021).

Di Indonesia, deforestasi yang terus berlanjut, degradasi habitat, perubahan iklim, dan aktivitas manusia menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati semakin meningkat. Deforestasi menjadi ancaman serius, dengan pembabatan dan pembakaran hutan oleh pihak tidak bertanggung jawab merugikan ekosistem secara signifikan. Bahkan, telah merusak habitat bagi flora dan fauna. 

Spesies yang hanya ditemukan di wilayah tertentu (spesies endemik) sangat rentan terhadap perubahan iklim, karena mereka tidak dapat berpindah ke habitat baru. Kepunahan spesies tersebut dapat mengurangi keanekaragaman hayati di daerah tersebut.

Perubahan suhu dan curah hujan juga memengaruhi pola pertumbuhan tumbuhan dan ketersediaan makanan bagi spesies herbivora dan karnivora. Ketidaksesuaian dalam rantai makanan ini dapat menyebabkan penurunan populasi spesies dan gangguan dalam ekosistem.

Hilangnya Keanekaragaman Hayati Imbas Deforestasi

Penelitian Auriga Nusantara mencatat deforestasi di Indonesia mencapai 257.384 hektare pada 2023, dengan Kalimantan menjadi pulau yang paling luas terkena dampak. Kalimantan Barat mencatat deforestasi terbesar, yaitu 35.162 hektare. Selanjutnya, Kalimantan Tengah dengan 30.433 hektare, dan Kalimantan Timur dengan 28.633 hektare. Angka deforestasi pada 2023 lebih tinggi daripada tahun 2022 yang mencapai 230.760 hektare.

Sebanyak 142 unit hutan seluas 12.612 hektare di kawasan konservasi telah terdeforestasi pada tahun 2023. Total deforestasi mencakup 31 taman nasional, 45 cagar alam, dan 26 suaka margasatwa. 

Selain itu, Indonesia juga telah kehilangan hutan alam dari 2015-2019 mencapai total 2,81 juta hektare. Provinsi yang kaya hutan menyumbang 1,85 juta hektare deforestasi, atau 65% dari total hilangnya hutan alam di Indonesia.

Tingginya angka deforestasi jelas mempengaruhi kondisi keanekaragaman hayati di Indonesia karena hutan adalah habitat kunci yang perlu kita lindungi. Sayangnya, dengan kondisi hutan alam yang semakin hilang, kondisi keanekaragaman hayati di Indonesia akan semakin kritis, akan ada banyak spesies yang dilindungi semakin terancam kehidupannya dan ekosistem penting mengalami kerusakan permanen.

Keanekaragaman Hayati di Indonesia Miliki Keunikan 

Ancaman terhadap keanekaragaman hayati akan terus bergulir apabila pemerintah dan masyarakat tidak segera menghentikan faktor perusak. Penting bagi kita untuk selalu menyadari adanya ancaman besar ini di Indonesia, apalagi Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan satwa. 

Seharusnya masyarakat Indonesia merasa bangga dan termotivasi untuk menjaga satwa yang tersisa di negara ini. Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau, memiliki berbagai spesies unik dan endemik. 

Berdasarkan laporan ProFauna (2019), Indonesia adalah rumah bagi sekitar 17% satwa dunia, atau sekitar 300.000 spesies. Negara ini juga merupakan habitat bagi 515 jenis mamalia, 1.539 jenis burung, 173 jenis amfibi, dan 45% spesies ikan di dunia.

“Garis Wallace dan Webber memisahkan bentang alam Indonesia, sehingga spesies satwa di barat memiliki karakteristik Asia, sedangkan spesies di timur memiliki karakteristik Australia. Ini membuat Indonesia seolah memiliki satwa dari beberapa benua dalam satu negara. Kita patut bangga dengan keanekaragaman hayati negara kita.”

Peneliti dan aktivis lingkungan, Rheza Maulana, mengungkapkan keunikan ini tidak ditemui di negara lain. Sebagai contoh, keanekaragaman hayati flora dan fauna di Pulau Kalimantan setara dengan keanekaragaman hayati di benua Eropa atau Australia.

Pelaku penjual bagian tubuh satwa. Sumber: KLHK

Pelaku penjual bagian tubuh satwa. Sumber: KLHK 

Ancaman Satwa Liar 

Sayangnya, satwa di Indonesia telah menghadapi berbagai ancaman. Rheza mengungkapkan bahwa satwa liar di Indonesia saat ini sedang menghadapi dua ancaman utama yaitu ancaman langsung dari perburuan dan ancaman tidak langsung dari pengabaian. Keduanya seringkali saling berhubungan.

Contohnya, perburuan satwa makaka (monyet ekor panjang) masih sering terjadi. Karena makaka tidak dianggap sebagai spesies yang dilindungi, perlindungannya sering kali diabaikan, sehingga makaka sering diburu, diperdagangkan, dan dieksploitasi.

“International Union for Conservation of Nature (IUCN) kini menyatakan bahwa makaka mulai masuk dalam kategori terancam punah,” tambah Rheza.

Pemahaman masyarakat tentang perlindungan satwa liar juga masih banyak yang keliru. Salah satunya adalah anggapan bahwa satwa liar yang terancam punah lebih baik dipelihara di kebun binatang ketimbang di alam. Padahal, anggapan ini justru memperparah kondisi mereka.

Selain itu, banyak juga yang beranggpan bahwa satwa yang dilindungi lebih baik dipelihara di rumah supaya bisa memiliki ruang yang aman. Namun, anggapan ini jelas salah dan keliru. Menyayangi satwa liar itu justru terus menjaga keberadaan satwa hidup dan membebaskannya di habitatnya. 

“Spesies yang terancam punah, mereka perlu dirawat di penangkaran. Namun, hal ini tidak boleh dilakukan selamanya. Harus ada upaya untuk mengembalikan mereka ke alam, memperbanyak populasi di habitat alami, dan melindungi lingkungan mereka. Jika tidak, spesies-spesies ini bisa punah di alam liar.”

Rheza juga menegaskan pentingnya untuk menghindari kejadian seperti yang dialami Thylacine di Australia, yang hanya tersisa satwa di kebun binatang dan akhirnya punah dari dunia.

Dampak Kerusakan Habitat terhadap Satwa Liar

Selanjutnya, kerusakan habitat juga dapat mengurangi populasi satwa liar karena mereka kehilangan tempat tinggal yang menunjang kehidupan mereka. Dengan habitat yang rusak, satwa liar tidak dapat bertahan hidup dan akan mati. Satwa liar yang selamat mungkin akan terusir ke pemukiman manusia, yang meningkatkan risiko kematian akibat perburuan.

Perubahan habitat alami menjadi habitat buatan manusia mengurangi area hidup satwa liar. Mereka akan terusir dari rumah mereka sendiri, mengalami kesulitan mencari makanan, dan bertahan hidup. Maka, tidak mengherankan jika sering terlihat berita tentang satwa liar yang masuk pemukiman warga dan menyebabkan konflik dengan manusia.”

Tentunya kerusakan ini bukan disebabkan oleh perilaku satwa liar yang jahat, melainkan karena mereka benar-benar terpaksa keluar dari habitat mereka dan tidak tahu ke mana harus pergi. Manusia seharusnya mempertimbangkan hak hidup satwa liar saat melakukan pembangunan. Keseimbangan sangatlah penting. Manusia sudah semestinya berbagi ruang dengan satwa liar.

Kasus Kematian Satwa Liar Sering Terjadi 

Kasus kematian satwa liar di Indonesia sampai saat ini juga masih sering terjadi. Pada Maret 2024, seekor gajah liar ditemukan mati tanpa gading. Rheza menyebutkan bahwa tingginya tingkat eksploitasi satwa liar oleh segelintir orang menjadi salah satu faktor penyebab kejadian tersebut.

Gajah sumatra tersebut ditemukan mati di area perkebunan di Kabupaten Aceh Utara. Berdasarkan dugaan, gajah itu sengaja dibunuh dan gadingnya diambil.

Kejadian serupa juga terjadi pada gajah Rahman, yang mati pada Januari 2024 di Taman Nasional Tesso Nilo di Riau dengan kondisi gading yang hilang. Gajah tersebut diduga mati akibat diracun.

Sungguh ironis betapa teganya manusia terus-menerus membunuh gajah hanya untuk mengambil bagian tubuhnya, seperti gading yang bernilai tinggi di pasar gelap. Tindakan ini tidak hanya merusak populasi gajah, tetapi juga mengancam keseimbangan ekosistem tempat mereka hidup dan merusak upaya konservasi yang telah dilakukan selama bertahun-tahun.

Sudah waktunya bagi semua pihak untuk mengubah pola pikir dan tidak lagi melihat satwa liar serta bagian tubuhnya sebagai komoditas mewah dan simbol status. Penting untuk diingat bahwa ‘Satwa liar harus dipandang sebagai komponen alam yang harus dilindungi di habitatnya, bukan sebagai benda yang dimiliki’. 

Badak Jawa Berada di Ujung Tanduk  

Kematian satwa tidak hanya terjadi pada gajah, banyak satwa liar lainnya juga mengalami hal serupa, salah satunya badak. Keberadaan badak, yang sangat terancam punah, menghadapi ancaman serupa akibat perburuan liar.

Tahun 2023 Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) mengonfirmasi total badak jawa mencapai 81 ekor. Namun, pada April 2023, Auriga Nusantara mengungkapkan keprihatinannya terhadap nasib badak Jawa di Ujung Kulon, yang berada di ambang kepunahan. Dalam investigasinya, Auriga menemukan bahwa 18 individu badak jawa tidak terdeteksi lagi oleh kamera pemantau pada tahun 2021. Berdasarkan investigasi tersebut, tiga individu telah mati.

Auriga Nusantara menduga bahwa terjadi penurunan populasi badak jawa dari informasi yang dikumpulkan antara September 2022 hingga Maret 2023. Investigasi ini Auriga lakukan karena dalam setahun terakhir lebih dari dua kali menerima kabar buruk mengenai badak Jawa di TNUK. Setahun sebelum investigasi, 16 individu badak juga tidak ditemukan, dan terjadi satu kematian badak jawa.

Pada April 2023, ada 15 badak jawa yang diduga hilang, dan tujuh di antaranya adalah betina. Kehilangan betina dalam jumlah besar pada populasi yang kecil adalah kabar buruk bagi regenerasi badak.

Setelah melakukan investigasi di Ujung Kulon, Auriga menemukan beberapa indikasi, antara lain peningkatan perburuan. Temuan ini meliputi jerat yang diduga mengarah ke badak atau mamalia besar, serta lubang di tengkorak kepala badak jantan Samson dan lubang di bagian punggung belakang badak jawa yang diduga merupakan bekas peluru.

Potret badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon. Foto: Toby Nowlan

Potret badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon. Foto: Toby Nowlan

Usut Tuntas Kematian Badak Jawa

Peneliti Auriga Nusantara, Riszki Is Hardianto, mengatakan bahwa saat mewawancarai sejumlah sumber, mayoritas menyebutkan bahwa luka pada tubuh badak akibat tembakan peluru dan tertusuk bambu.

Auriga juga menemukan rentetan kematian badak jawa yang tidak pernah diusut tuntas. Dari informasi yang mereka kumpulkan, terdapat setidaknya 11 kematian badak jawa, empat betina dan tujuh jantan, di TN Ujung Kulon sejak tahun 2011. Ternyata, tidak ada satu pun dari kematian ini yang diusut secara tuntas hingga diketahui penyebabnya.

Auriga juga mempertanyakan anggaran TN Ujung Kulon untuk konservasi badak dan penambahan habitat yang mereka nilai kurang serius.

Selanjutnya, pada April 2024, pemburu liar menembak enam badak jawa di TNUK. Pelaku yang terlibat dalam pembunuhan badak jawa yang dilindungi di Ujung Kulon dijatuhi vonis 12 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 2 bulan. Pengadilan menjeratnya dengan tiga pasal sekaligus, yaitu kepemilikan senjata api, pembunuhan atas enam badak, dan pencurian empat kamera trap di TNUK, Banten.

Kesalahpahaman terhadap Satwa Liar 

Pemburu sering kali melakukan perburuan satwa dengan cepat tanpa berpikir panjang. Mereka hanya menganggap satwa sebagai komoditas bisnis yang bisa dijual untuk menghasilkan keuntungan besar. Sikap ini mencerminkan perilaku kejam yang terjadi secara nyata.

Mungkin mereka juga sering berpikir bahwa memulihkan kerusakan dan kepunahan satwa itu mudah. Faktanya, memulihkan habitat satwa liar dan mengembalikan ruang hidup yang aman bagi mereka tidaklah semudah membalik telapak tangan.

Rheza menjelaskan bahwa ada banyak tantangan dalam upaya konservasi. Upaya ini harus bersaing dengan laju eksploitasi, seperti perburuan, yang terus-menerus meningkat.

“Ibaratnya, begitu kita menyelamatkan satu satwa, sudah ada satwa lain yang harus kita selamatkan. Kita harus menekan laju eksploitasi. Salah satunya adalah dengan mengedukasi masyarakat. Jika masyarakat tidak lagi meminta satwa liar untuk dijual, dibeli, atau dipelihara, baik yang hidup maupun yang diawetkan, maka perburuan pun akan berkurang,” tegas Rheza.

Pernyataan itu menyimpulkan bahwa lingkaran kekejaman terhadap satwa tidak sepenuhnya disebabkan oleh kesalahan pemburu. Lingkaran ini juga ada campur tangan oknum utama yang masih membeli dan memelihara satwa liar. Maka dari itu, manusia harus segera menghentikan keinginannya untuk memiliki bagian tubuh satwa liar dan memelihara satwa liar agar perburuan ini juga dapat dihentikan.

Tokoh publik atau sosok yang menjadi panutan masyarakat juga harus menunjukkan teladan dalam menggaungkan pentingnya melindungi spesies endemik, bukan malah mendorong masyarakat untuk memiliki spesies tersebut.

Rheza menegaskan, semua satwa liar pada dasarnya harus berada di alam, terlepas dari apakah mereka dilindungi atau tidak. Satwa liar yang tidak dilindungi, jika terus-menerus dieksploitasi, populasinya dapat terancam dan akhirnya juga memerlukan perlindungan. Semua satwa sama-sama penting dan harus kembali ke habitatnya.

Rheza Maulana melepasliarkan kukang jawa di kawasan kaki Gunung Papandayan. Sumber: Rheza Maulana

Rheza Maulana melepasliarkan kukang jawa di kawasan kaki Gunung Papandayan. Sumber: Rheza Maulana

Kisah Inspiratif dan Upaya Pelestarian Satwa

Di balik tindakan kejam para pemburu dan segelintir orang yang memelihara satwa liar, kita juga perlu mengenal kisah-kisah inspiratif yang patut kita contoh dalam upaya menyayangi satwa liar.

Secara historis, masyarakat lokal sering memiliki hubungan erat dengan satwa liar. Misalnya, sebagian masyarakat Sumatra menganggap harimau lebih dari sekadar hewan, bahkan memberi gelar ‘datok’ sebagai bentuk penghormatan.

Di Nusa Tenggara Timur (NTT), masyarakat semakin mengurangi konsumsi penyu karena penyu memiliki peran penting dalam cerita rakyat yang berkaitan dengan pembentukan NTT zaman dahulu. Kearifan lokal seperti ini dapat menjadi cara yang efektif untuk mendukung konservasi satwa.

Masyarakat lokal juga memiliki pemahaman mendalam tentang bentang alam di sekitar mereka. Bayangkan, masyarakat lokal yang sudah terbiasa berada di hutan tahu di mana letak satwa liar berada. Jika mereka diberdayakan sebagai penjaga hutan, ini akan memberikan manfaat ganda. Pepatah mengatakan, ‘sekali berenang, dua-tiga pulau terlewati’. Artinya, dengan memberdayakan mereka, kita tidak hanya menciptakan lapangan pekerjaan dan mendorong perekonomian setempat, tetapi juga melestarikan satwa liar.

Selain beredarnya isu negatif tentang satwa liar, banyak juga kisah sukses pelestarian oleh pemerintah dan lembaga konservasi. Misalnya, ada rutinitas merehabilitasi makaka bekas topeng monyet dan kemudian melepasliarkannya, serta melepasliarkan kukang, orang utan, harimau, macan jawa, dan lumba-lumba.

Terlebih lagi, kelahiran badak sumatra dan gajah sumatra semakin sering terjadi. Keberhasilan konservasi ini perlu ada yang mempublikasikannya secara lebih luas dan masif, agar seluruh lapisan masyarakat dapat mengetahui kisah sukses ini. Publik pun tidak hanya terpapar berita mengenai pemburuan satwa, yang dapat menimbulkan rasa pesimis.

“Jika upaya konservasi menjadi mainstream, akan banyak yang mendukung dan terlibat. Terlebih lagi, pegiat aktivitas outdoor seperti hiking di Indonesia cukup banyak. Bayangkan jika pegiat outdoor terlibat membantu pemerintah dengan menjadi relawan pusat penyelamatan atau pelepasliaran satwa. Itu akan sangat baik, bukan?” imbuh Rheza.

Indonesia Kaya akan Tumbuhan

Setelah menggali tuntas terkait kekayaan fauna dan ancaman satwa liar di Indonesia, kita juga perlu mengetahui bahwa Indonesia juga merupakan salah satu negara dengan kekayaan tumbuhan yang luar biasa. 

Indonesia termasuk dalam kategori negara dengan hutan hujan tropis karena terletak di khatulistiwa, yang memiliki sinar matahari melimpah dan curah hujan tinggi. Sekitar 59% daratan di Indonesia merupakan hutan tropis, yang menyumbang 10% dari total luas hutan di dunia, yaitu sekitar 126 juta hektare.

Menurut buku “Status Keanekaragaman Hayati Indonesia: Kekayaan Jenis Tumbuhan dan Jamur Indonesia” oleh Atik Retnowati dkk, Indonesia merupakan habitat bagi sekitar 25.000 jenis tumbuhan berbiji, atau sekitar 10% dari jumlah jenis global.

LIPI (2021) menyatakan bahwa Indonesia memiliki sekitar 15.000 tumbuhan yang berpotensi berkhasiat obat. Namun, baru sekitar 7.000 spesies yang digunakan sebagai bahan baku obat.

Penemuan Baru Perkuat Keanekaragaman Flora Indonesia

Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Iyan Robiansyah, mengatakan bahwa penemuan jenis baru tumbuhan di Indonesia semakin memperkuat klaim bahwa Indonesia sangat kaya akan keanekaragaman flora. Iyan mencatat setidaknya ada 71 jenis tumbuhan baru pada tahun 2021, 60 jenis pada tahun 2022, dan 41 jenis pada tahun 2023.

“Kita perlu terus melakukan upaya ini di tengah ancaman yang terus berlangsung terhadap hutan Indonesia. Hal ini tentunya agar keanekaragaman jenis tumbuhan Indonesia dapat terungkap sebelum mereka hilang tanpa diketahui keberadaannya,” kata Iyan. 

Di dalam hutan hujan tropis yang rimbun dan megah, keberadaan tumbuhan memainkan peran yang sangat vital dalam menjaga keseimbangan ekosistem dan mendukung kehidupan berbagai makhluk hidup.

Hutan hujan tropis, yang terkenal karena keragaman hayatinya yang melimpah dan iklimnya yang lembap, adalah rumah bagi sejumlah besar spesies tumbuhan dengan fungsi penting dalam sistem ekosistem ini. 

Misalnya, tumbuhan di hutan hujan tropis Indonesia, termasuk spesies seperti meranti, ramin, dan berbagai jenis pohon tropis lainnya, berperan krusial dalam fotosintesis. Proses ini mengubah karbon dioksida dari atmosfer menjadi oksigen, yang vital bagi kehidupan di seluruh planet. 

 Potret spesies Zingiberaceae di Indonesia yang berpotensi sebagai tanaman obat terancam punah. Sumber: BRIN

Potret spesies Zingiberaceae di Indonesia yang berpotensi sebagai tanaman obat terancam punah. Sumber: BRIN

Tumbuhan di Indonesia Hadapi Ancaman

Hutan hujan tropis Indonesia adalah rumah bagi berbagai spesies tumbuhan yang menyediakan makanan bagi banyak hewan. Selain itu, tumbuhan juga menyediakan habitat dan tempat berlindung yang esensial, menciptakan lingkungan yang mendukung keanekaragaman spesies.

Banyak tumbuhan di hutan hujan tropis Indonesia memiliki nilai obat dan telah banyak masyarakat adat gunakan dalam pengobatan tradisional. Namun, kekayaan tumbuhan di Indonesia kini menghadapi berbagai ancaman. Iyan mengungkapkan bahwa ancaman utama terhadap jenis tumbuhan di Indonesia adalah degradasi dan alih fungsi hutan.

Lebih dari 70% jenis tumbuhan berdasarkan kriteria IUCN Red List status konservasinya terancam oleh degradasi dan alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan, pertanian, pemukiman, dan penggunaan lahan lainnya.

Ancaman terbesar kedua adalah pemanfaatan sumber daya tumbuhan secara tidak berkelanjutan. Selain kedua ancaman ini, keanekaragaman tumbuhan Indonesia juga terancam oleh perubahan iklim, polusi, dan spesies invasif.

Suhu ekstrem, kekeringan, dan kelembapan yang tidak stabil menyebabkan stres pada tumbuhan. Stres ini dapat mengurangi pertumbuhan, produktivitas, dan kekuatan pertahanan tumbuhan terhadap penyakit dan hama. Tumbuhan yang mengalami stres berkepanjangan mungkin mengalami penurunan kesehatan atau kematian.

Rendahnya Kesadaran terhadap Pentingnya Konservasi Tumbuhan

Iyan menambahkan bahwa melestarikan spesies tumbuhan langka atau terancam punah tidak terlepas dari berbagai tantangan. Pertama, sulitnya menghentikan ancaman terhadap populasi mereka di habitat alaminya. Jika ancaman terhadap suatu jenis tumbuhan dapat diatasi, maka jenis tumbuhan tersebut akan lebih mudah untuk keluar dari status “terancam punah” atau threatened.

Menurutnya, saat ini perlu usaha bersama untuk meminimalisasi atau bahkan menghentikan berbagai ancaman terhadap keanekaragaman jenis tumbuhan Indonesia. Tantangan kedua adalah rendahnya kesadaran terhadap pentingnya konservasi tumbuhan.

“Tidak seperti konservasi hewan, terutama spesies flagship seperti orang utan, badak, harimau, dan gajah, yang dapat menarik perhatian pemerintah, publik, dan pemberi dana. Konservasi tumbuhan masih belum dianggap penting.”

Contohnya, punahnya Etlingera heyneana, jenis jahe-jahean yang hanya ditemukan di daerah Sentiong, Jakarta, mungkin tidak banyak diketahui masyarakat dan tidak menimbulkan kehebohan publik secara umum.

“Tidak terbayangkan jika yang dinyatakan punah adalah salah satu jenis hewan yang saya sebutkan di atas,” kata Iyan.

Dalam mengatasi permasalahan ini, BRIN telah melakukan berbagai upaya, di antaranya menyusun database tumbuhan Indonesia, melakukan prioritisasi dengan penilaian risiko kepunahan (redlisting), survei populasi untuk mengetahui kondisi terkini di habitat alaminya, pengoleksian secara ex-situ di kebun raya Indonesia, perbanyakan atau propagasi, dan penanaman untuk pemulihan spesies dan ekosistem.

Masyarakat lokal juga harus terlibat secara aktif dalam upaya konservasi flora di Indonesia. Mereka adalah aktor utama yang sehari-hari bersentuhan dengan hutan, habitat bagi berbagai flora di Indonesia. Peningkatan kesadaran dan kesejahteraan mereka harus menjadi fokus utama, selain upaya pencegahan dan penegakan hukum yang efektif.

Penelitian untuk menggali keanekaragaman hayati Indonesia tak kalah penting untuk terus peneliti lakukan. Sebab, hal ini dapat memperkaya spesies tumbuhan yang ada di Indonesia. 

Pembukaan lahan hutan untuk proyek food estate di Sepang, Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Foto: Greenpeace Indonesia

Pembukaan lahan hutan untuk proyek food estate di Sepang, Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Foto: Greenpeace Indonesia

Hutan Tutupi 31 Persen Permukaan Bumi 

Menurut data United Nations, hutan menutupi hampir 31 persen permukaan bumi dan menjadi rumah bagi lebih dari 80 persen spesies hewan, tumbuhan, dan serangga darat. 

Pada Convention of Biological Diversity (CBD) pada tahun 2022 di Montreal juga telah disepakati Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (GBF). Kesepakatan ini bertujuan untuk mengatasi hilangnya keanekaragaman hayati, memulihkan ekosistem, dan melindungi hak-hak masyarakat adat.

Rencana tersebut mencakup langkah-langkah konkret untuk menghentikan dan membalikkan kerusakan alam, termasuk menempatkan 30 persen dari planet ini dan 30 persen ekosistem yang terdegradasi di bawah perlindungan pada tahun 2030. Rencana ini juga mencakup proposal untuk meningkatkan pendanaan bagi negara-negara berkembang, yang menjadi titik kritis. 

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, menekankan bahwa kesepakatan ini sangat terkait dengan hubungan antara keanekaragaman hayati dan hutan, termasuk di Indonesia. 

“Jika kita ingin melindungi keanekaragaman hayati di Indonesia, kita harus melindungi hutannya. Hutan alam, baik yang berada di kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan, merupakan langkah kunci untuk menghentikan deforestasi. Ini bukan hanya tentang menyelamatkan lingkungan hidup, tetapi juga tentang menyelamatkan keanekaragaman hayati di Indonesia.”

Kebijakan Berpotensi Perpanjang Deforestasi

Sementara itu, pemerintah Indonesia  saat ini menerapkan kebijakan Forest and Land Use (FOLU) Net Sink 2030. Dalam kebijakan ini, pemerintah menargetkan agar hutan Indonesia tidak lagi berkontribusi terhadap pelepasan emisi gas rumah kaca. Kontribusi sektor hutan, menurut pemerintah, pada akhir dekade mendatang harus lebih banyak menyerap karbon (carbon sink) daripada melepaskannya. Sehingga dapat berperan aktif dalam meredam krisis iklim

Namun menurut analisis risiko kehilangan hutan Indonesia akibat kebijakan FOLU Net Sink 2030 yang tercantum dalam buku Main Api dengan Deforestasi’ yang diterbitkan oleh Greenpeace Indonesia, kebijakan ini berpotensi menjadi bumerang bagi kelangsungan hutan di tanah air. Alih-alih menyerap emisi, strategi FOLU Net Sink 2030 justru berisiko melanggengkan deforestasi dan kerusakan hutan alam.

Berdasarkan perkiraan pemerintah dalam Rencana Operasional FOLU Net Sink 2030, akan ada potensi deforestasi terencana maupun tidak terencana selama 2013-2030 sebesar 4,22 juta hektare. Padahal, deforestasi selama 2013-2019, yang tercatat dalam dokumen yang sama, sudah mencapai 4,80 juta hektare—lebih luas dari negara Belanda.

Aturan ini seperti terkesan tumpang tindih terhadap komitmen Indonesia yang ingin mengurangi emisi gas rumah kaca dan melindungi keanekaragaman hayati di Indonesia. Greenpeace mencatat bahwa dalam FOLU Net Sink 2030, Indonesia tidak menargetkan deforestasi turun ke titik nol. Indonesia juga belum menerbitkan regulasi yang melarang pembabatan hutan besar-besaran.

Pemerintah masih mengizinkan deforestasi atas nama ‘pembangunan besar-besaran’ melalui skema deforestasi terencana dan deforestasi tidak terencana. Klaim kunci dalam kebijakan FOLU Net Sink 2030 bahwa pelepasan karbon dari deforestasi hutan alam dapat diganti (offset) dengan penyerapan karbon dari pembangunan hutan tanaman dianggap menyesatkan.

Iqbal menegaskan bahwa pemerintah harus memiliki langkah konkret dari FOLU Net Sink 2030 untuk membuat kebijakan yang melindungi hutan-hutan yang menjadi tempat tinggal keanekaragaman hayati kunci.

Rawat dan Jaga Keanekaragaman Hayati Indonesia 

Kini, kita telah menyaksikan penderitaan satwa yang kelaparan, berjalan di atas tanah yang tidak subur, dan kehilangan pepohonan hijau di sekelilingnya. Tempat tinggal dan sumber makanan mereka semakin hilang. 

Sampai kapan manusia yang tidak bertanggung jawab akan terus menggusur kehidupan satwa-satwa itu? Mereka sering menganggap satwa sebagai ancaman bagi manusia, padahal satwa telah memberikan kehidupan bagi alam dan manusia. Begitu juga, kekayaan flora Indonesia semakin terancam oleh sejumlah faktor perusak salah satunya adalah alih fungsi lahan dan deforestasi.

“Bayangkan jika hutan yang rusak tidak lagi memiliki pepohonan yang indah dan hijau, tidak ada lagi kesejukan, dan yang tersisa hanyalah kegersangan dan kerusakan akibat tindakan manusia yang semena-mena terhadap kekayaan alam ini.”

Penebangan hutan-hutan alam yang indah masih terus berlangsung untuk memenuhi kebutuhan pembangunan proyek-proyek nasional. Alih-alih mendukung perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tindakan ini justru memberikan dampak besar bagi lingkungan dan kesejahteraan manusia, terutama bagi masyarakat adat.

Tanpa kita sadari, banyak pihak yang tidak bertanggung jawab telah mengubah lanskap Indonesia tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap makhluk hidup lainnya.

Kini, saatnya kita bersama-sama untuk memulihkan kondisi keanekaragaman hayati ini. Khususnya bagi pemerintah, sebagai pemegang kebijakan negara, juga harus lebih cermat dalam menerapkan kebijakan untuk memastikan keberlanjutan lingkungan di Indonesia dan melindungi keanekaragaman hayati di negeri ini.

Bumi adalah satu-satunya tempat tinggal yang kita miliki. Tuhan juga telah memberikan anugerah yang indah dan megah kepada Indonesia. Tanggung jawab untuk menjaga kekayaan ini ada di tangan rakyatnya. Sudah saatnya masyarakat Indonesia menjaga dan merawat kekayaan flora dan fauna agar tetap lestari di habitatnya.

Manusia sudah seeharusnya menjadi sosok yang merangkul dan memberi ruang hidup untuk setiap makhluk yang ada di alam ini, bukan justru menyingkirkannya.

“Kita adalah bagian dari alam semesta yang lebih besar, dan keterkaitan kita dengan alam semesta harus dihormati dan dipelihara.”

– Anaximandros- 

 

Penulis: Dini Jembar Wardani 

Editor: Indiana Malia

Top