Jakarta (Greeners) – Pernyataan Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan yang mengatakan bahwa Indonesia akan keluar dari Paris Agreement (Kesepakatan Paris) jika Uni Eropa melanjutkan rencana pengurangan minyak kelapa sawit dalam bahan bakar transportasi terbarukan mendapat kecaman dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Walhi menyebut pernyataan Luhut tersebut serampangan karena melangkahi keputusan Presiden.
Seperti diketahui bahwa komitmen Indonesia untuk terlibat dalam Kesepakatan Paris disampaikan oleh Presiden Joko Widodo tahun 2015 lalu pada Konferensi Perubahan Iklim COP 21 UNFCCC di Paris, Perancis. Setahun setelahnya Kesepakatan Paris diratifikasi oleh DPR dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016. Atas Kesepatan Paris tersebut Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan sumberdaya sendiri dan 41% dengan dukungan dan kemitraan internasional pada tahun 2030.
BACA JUGA: Menko Luhut: Deforestasi Sektor Sawit Terkecil Dibandingkan Peternakan Sapi
Yuyun Harmono selaku Manager Kampanye Keadilan Iklim Eksekutif WALHI Nasional mengatakan komitmen presiden dalam menurunkan emisi di tingkat global ini tidak bisa dibantah oleh menterinya sendiri karena menjadi hal yang kontradiktif dan terlihat tidak ada koordinasi dalam pemerintahan saat ini. Menurut Yuyun, seharusnya presiden menegur Menko Maritim atas pernyataan yang tidak melihat konteks secara mendalam.
“Pernyataan Luhut ini sangat serampangan karena tidak didasari oleh pemikiran yang mendalam dan keliru. Sebagai Menko Maritim seharusnya dia bisa memastikan bahwa rakyatnya tidak terdampak terhadap perubahan iklim ini terutama yang tinggal di pesisir karena itu sektor kemaritiman. Bukan seperti ini yang mengancam akan keluar dari Kesepakatan Paris dan ada indikasi membela kepentingan korporasi sawit,” kata Yuyun dalam konferensi pers di Kantor WALHI, Jakarta, Jumat (29/03/2019).
BACA JUGA: Inpres Moratorium Perkebunan Sawit Dorong Penyerapan CPO
Komisi Uni Eropa (UE) sebelumnya telah menerbitkan kriteria untuk menentukan komoditas apa saja yang merusak hutan dan lingkungan. Upaya ini dilakukan sebagai bagian dari UU baru UE untuk meningkatkan energi terbarukan menjadi 32 persen pada 2030. Komisi UE berkesimpulan bahwa 45 persen dari ekspansi produksi minyak sawit sejak 2008 silam telah mengakibatkan kerusakan lahan hutan yang melepaskan emisi gas rumah kaca.
“Ketika Uni Eropa mengenalkan kebijakan energi terbarukan untuk menurunkan emisi di Eropa, kita sudah bilang bahwa kalian (UE) memberikan insentif bagi perusak lingkungan di negara-negara produsen sawit karena perusahaan melihat ada peluang di UE untuk sawit yang dipergunakan sebagai biofuel dan melakukan ekspansi besar-besaran. Buktinya tahun 2015 terjadi karhutla besar dengan jutaan lahan habis terbakar. Akhirnya dari pertimbangan ini UE sadar dan direvisi. Atas revisi ini banyak perusahaan sawit di Indonesia merasa rugi,” ujar Yuyun.
Yuyun mengatakan bahwa atas revisi ini UE akhirnya mempertimbangkan untuk penggunaan sawit kepada independen small holder (petani) bukan perusahaan. Seperti lahan yang digunakan tidak lebih dari dua hektar dan mempunyai hak atas tanah. Untuk mendukung ini, seharusnya Indonesia juga mendukung dengan program reforma agraria.
Penulis: Dewi Purningsih