Jakarta (Greeners) – Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengaku sepakat dengan larangan importasi pakaian bekas menyusul laporan terkait adanya bakteri pada pakaian dan merugikan konsumen. Terkait hal ini, Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi menyarankan agar pemerintah lebih giat lagi memberantas importasi pakaian bekas ilegal terutama di pelabuhan-pelabuhan tikus yang banyak tersebar di Indonesia.
Tulus juga meminta kepada pemerintah agar melakukan penelusuran dari distributor ke pengecer dan konsumen dengan tujuan agar peredaran pakaian bekas impor ilegal di Indonesia bisa diberantas. Namun, langkah ini harus tetap mempertimbangkan kesadaran konsumen dalam membeli dan menggunakan pakaian bekas karena tingkat kemampuan membeli masyarakat Indonesia dinilai masih lemah.
“Pemerintah tidak boleh melakukan pembiaran terhadap barang ilegal, termasuk impor pakaian bekas. Apalagi pakaian bekas berdampak pada konsumen akibat tercemar bakteri,” terangnya kepada Greeners,” Jakarta, Senin (09/02).
Menurut Tulus, selain memberikan dampak yang buruk bagi kesehatan pemakainya, baju bekas yang dijual di pasaran juga membawa dampak negatif bagi dunia usaha di dalam negeri, khususnya industri skala kecil dan menengah di sektor garmen.
Pakaian bekas impor sendiri, tambahnya, seharusnya tidak perlu diperdagangkan di Indonesia dengan alasan masih banyak produk murah yang bisa digunakan oleh konsumen di dalam negeri. YLKI berharap pemerintah mampu mendorong produksi garmen lokal agar bisa memasok kebutuhan garmen nasional.
“Tentunya dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat sehingga masyarakat bisa beralih dari konsumen pakaian bekas menjadi konsumen pakaian lokal,” tuturnya.
Senada dengan Tulus, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API,) Ade Sudrajat, mengatakan, kalau semakin maraknya peredaran pakaian bekas di Indonesia membuat industri garmen lokal kesulitan untuk berkembang.
“Minimnya pertumbuhan industri garmen lokal juga salah satunya disebabkan oleh pasar garmen yang direbut oleh pakaian bekas tersebut,” tambahnya.
Di lain sisi, Sub divisi AIDS dan Penyakit Menular Seksual Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dr Endang Budi Hartuti kepada Greeners menegaskan bahwa hingga saat ini Kemenkes belum pernah mencatat ada kasus penularan HIV terjadi lewat penggunaan pakaian bekas seperti yang dikatakan oleh Menteri Perdagangan. Endang menjelaskan bahwa HIV (Human Imunodeficiency Virus) hanya menular melalui tiga cara, yakni, lewat darah, cairan kelamin, dan dari ibu ke anak.
“Jadi tidak tepat jika HIV disebut-sebut bisa menular melalui pakaian bekas,” tegasnya.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Menteri Perdagangan Rachmat Gobel geram terhadap maraknya peredaran baju bekas di Tanah Air. Ia menyatakan bahwa baju bekas impor tersebut bisa jadi mengandung berbagai penyakit. Bahkan Gobel menyebut bahwa pakaian bekas bisa menularkan virus HIV. Beberapa hari berikutnya, Ia lantas mengklarifikasi pernyataan tersebut.
Ditemukannya bakteri yang ada dalam pakaian bekas impor tersebut diketahui setelah petugas dari Direktur Jenderal (Ditjen) Standardisasi dan Perlindungan Konsumen (SPK) Kemendag melakukan pengujian terhadap 25 sampel pakaian bekas yang beredar di pasar.
Sampel diambil dari pakaian bekas impor yang dijual pedagang di Pasar Senen Jakarta. Pengujian dilakukan terhadap beberapa jenis mikroorganisme yang dapat bertahan hidup pada pakaian, yaitu bakteri Staphylococcus (S. aureus), bakteri Escherichia coli (E. coli), dan jamur (kapang atau khamir).
Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan, ditemukan sejumlah koloni bakteri dan jamur yang ditunjukkan oleh parameter pengujian angka lempeng total (ALT) dan kapang pada semua contoh pakaian bekas yang nilainya cukup tinggi.
(G09)