Jakarta (Greeners) – Sejak awal tahun 2024, bencana banjir hampir menerjang seluruh wilayah di Jawa Tengah. Berdasarkan kajian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Tengah, alih fungsi lahan menjadi salah satu faktor utama yang memperparah banjir di Jawa Tengah.
Menurut Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Jawa Tengah, Iqbal Alma, berdasarkan pendekatan ekologi politik, penyebab banjir bukan hanya curah hujan yang tinggi saja. Ada beberapa asumsi dasar yang menyebabkan banjir, salah satunya masifnya alih fungsi lahan berubah menjadi infrastruktur, bangunan, dan pemukiman.
BACA JUGA: Alih Fungsi Lahan Ancam Ketahanan Pangan Sektor Perikanan dan Pertanian
“Tidak lain aktornya adalah pemerintah dan manusia- manusia yang memiliki modal atau kita sebut korporat. Pemerintah mengizinkan proyek pembangunan, infrastruktur yang dilakukan oleh korporat di wilayah yang secara fungsi sebagai resapan air. Hal ini salah satu kesalahpahaman besar dalam mengelola tata ruang dan pembangunan,” tegas Iqbal lewat keterangan tertulisnya, Kamis (21/3).
Dari pandangan tersebut, Walhi Jawa Tengah pun merekomendasikan pemerintah untuk mengembalikan fungsi kawasan hulu sebagai daerah resapan air dan daerah yang memiliki fungsi lindung. Kemudian, pemerintah perlu menyusun struktur ruang dan penataan ruang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sesuai fungsi ruang lingkungan hidup yang berkeadilan.
Perubahan Lanskap Kian Mengerikan
Berdasarkan kajian Walhi Jawa Tengah sepanjang tahun 2023, perubahan lanskap daerah hulu yang menjadi penopang resapan air untuk daerah bawah (hilir) kian mengerikan. Setelah pesisir habis dan rusak karena industrialisasi yang masif, bagian tengah yang merupakan bentang pegunungan.
“Mulai dari Tegal hingga Karanganyar dan Rembang juga mulai dibabat untuk pembangunan. Baik untuk proyek strategis nasional (PSN), industri, pertambangan, maupun proyek skala besar industri energi,” tambah Iqbal.
Sebagai satu kesatuan ruang wilayah, bencana banjir yang hampir mendominasi kawasan pantai utara (PANTURA) tidak bisa hanya dilihat sebatas persoalan teknis macam tanggul jebol. Seperti yang terjadi Februari lalu, banjir di Grobogan dan Demak yang menenggelamkan ribuan hektar sawah–yang kemudian terancam gagal panen.
Pemerintah harus melihat bahwa ada proyek strategis nasional (PSN) Bendungan Jragung di Kabupaten Semarang. Pembangunan itu berbatasan langsung dengan Demak dan Grobogan telah membabat habis ratusan hektar kawasan hutan.
Banjir Jawa Tengah Terjang Banyak Wilayah
Bencana banjir telah menerjang banyak wilayah di Jawa Tengah. Mulai dari Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, dan Kendal. Selanjutnya, Kota dan Kabupaten Semarang, Demak, Kudus, Jepara, Pati, Blora, Salatiga, Grobogan, hingga Solo juga terdampak banjir.
Laporan investigasi oleh Koalisi Maleh Dadi Segoro (MDS) tahun 2023 menunjukkan 70% wilayah pantura Jawa Tengah kebanjiran. Bukan hanya meluas, volume atau ketinggian banjir juga meningkat, seperti yang terjadi di Grobogan dan Demak bulan lalu.
Sementara itu, banjir juga terjadi di Jepara, Pati, dan Blora yang sangat dekat dengan kawasan pegunungan Karst Kendeng. Bencana itu imbas dari alih fungsi lahan Karst Kendeng menjadi daerah pertambangan dan pabrik semen.
BACA JUGA: Masyarakat Pesisir Belum Rasakan Akses Air Bersih
Selanjutnya, lanjut Iqbal, di daerah paling barat juga terdapat perubahan hulu di Gunung Slamet yang menjadi industri pariwisata dan uji coba proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Pembangunan itu juga menyebabkan banjir di daerah Brebes, Tegal, Pemalang dan Pekalongan.
Sama halnya dengan Semarang yang kini menjadi langganan bencana banjir. Bahkan, banjir pada 13–14 Maret 2024 juga imbas perubahan daerah hulu. Perubahan lanskap kawasan resapan air telah berubah menjadi perumahan, tambang-tambang untuk menyuplai kebutuhan reklamasi pantai, PSN bendungan, dan jalan tol. Kemudian, industri juga menjadi satu penyebab yang sangat krusial.
“Berbagai bencana banjir besar yang terjadi tiap tahunnya, tidak membuat pemerintah di Jawa Tengah segera mengambil langkah serius agar bencana yang meluas dan semakin tinggi ini tidak berulang,” kata Iqbal.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia