Jakarta (Greeners) – Selama 3 tahun pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla, berbagai kebijakan maupun proyek infrastruktur yang menjadi andalan dianggap justru mengancam petani dan nelayan sebagai produsen pangan. Solidaritas Perempuan dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) merasa bahwa dalam gaungan poros maritim dan negara agraris yang sering dilekatkan pada Indonesia, pemenuhan hak petani dan nelayan sebagai produsen pangan justru diabaikan.
Bicara pangan bukan hanya soal ketahanan atau terpenuhinya target produksi, tetapi juga kesejahteraan para produsen pangan. Hal ini dikatakan oleh Sekretaris Jendral Kiara, Susan Herawati, tercermin dengan jelas dalam berbagai permasalahan terkait dengan kegiatan pertanian dan perikanan yang dibiarkan dan tidak ada upaya serius pemerintah untuk menyelesaikannya.
Di sektor perikanan, kondisi pangan protein dari sektor perikanan terancam dengan praktik-praktik perusakan lingkungan di wilayah pesisir yang dilegitimasi oleh negara dan notabene menjadi wilayah tangkapan nelayan tradisional. Menurut Susan, hal ini dimulai dari praktik reklamasi membabi buta di seluruh Indonesia. Hingga Oktober 2017, telah terjadi praktik reklamasi pesisir pantai seluas 24.134,66 Ha (KIARA, 2017).
BACA JUGA: Peran Perempuan Nelayan Masih Belum Diakui
Praktik penambangan pasir yang merusak wilayah tangkap nelayan tradisional juga dibiarkan. Nelayan tradisional di Pulau Romang, Maluku, misalnya, telah menolak penambangan pasir karena merusak lingkungan pesisir tempat menangkap ikan. Anehnya, penolakan tersebut dijawab dengan intimidasi terhadap nelayan tradisional karena berusaha mengusir perusahaan tambang.
Pada saat bersamaan, hingga hari ini, diakuinya bahwa laut masih juga diperlakukan sebagai tempat sampah besar yang menampung limbah rumah tangga hingga perusahaan. Pada tanggal 29 September 2017, tumpahan minyak sawit mentah sebanyak 50 ton milik PT Wira Inno Mas mencemari perairan Teluk Bayur yang terletak di Kota Padang, Sumatera Barat. Tumpahan minyak sawit akan berdampak terhadap hancurnya biota laut yang berada di perairan dangkal wilayah ini.
“Empat proyek besar – reklamasi, pertambangan, pembangunan pariwisata, dan konservasi- yang selama ini dijalankan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terbukti berdampak buruk terhadap regenerasi nelayan di Indonesia,” jelas Susan, Jakarta, Kamis (19/10).
BACA JUGA: Negara Diminta Perhatikan Hak Anak di Wilayah Pesisir
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penurunan rumah tangga nelayan sejak satu dekade terakhir sebanyak 46 persen. Jika tahun 2003 jumlah rumah tangga nelayan tercatat sebanyak 1,6 juta, maka pada tahun saat ini tercatat hanya 864,000 rumah tangga nelayan. Artinya, ada 736,000 rumah tangga nelayan yang hilang dalam 10 tahun terakhir akibat dari kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat.
Nelayan sebagai produsen pangan memang telah diakui dalam UU Nomor 18 Tahun 2012 (UU Pangan), tetapi UU tersebut tidak secara spesifik mengatur dan memberikan perlindungan terhadap nelayan sebagai pelaku pangan. Identifikasi nelayan yang diatur dalam UU Pangan tidak sesuai dengan konteks situasi nelayan nasional yang mayoritas adalah nelayan kecil dan tradisional.
Lahirnya UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam yang diharapkan dapat menjadi jawaban atas kebutuhan aturan hukum untuk melindungi masyarakat pesisir, nyatanya masih belum memberikan perlindungan kepada masyarakat pesisir (nelayan dan perempuan nelayan) atas wilayah tangkap yang bebas dari ancaman pencemaran, perusakan alam dan alat tangkap yang merusak, dan perlindungan kesejahteraan nelayan dari masalah ekonomi dan dampak perubahan iklim.
BACA JUGA: 63 Persen Anak Petani Tidak Ingin Menjadi Petani
Di sektor pertanian, alih fungsi lahan pertanian menjadi perkebunan monokultur seperti kebun kelapa sawit, tebu dan jagung terjadi di berbagai wilayah seperti Ogan Ilir di Sumatera Selatan, Poso di Sulawesi Tengah, Mantangai di Kalimantan Tengah dan sebagainya. Hal ini terjadi melalui pola pembebasan lahan secara paksa yang mengatasnamakan pembangunan. “Konflik antara perusahaan dan masyarakat berdampak negatif terhadap masyarakat terutama perempuan seperti kerusakan lingkungan, hilangnya mata pencaharian dan kesehatan reproduksi terganggu karena limbah,” tambahnya.
Terkait keterbatasan lahan, Diah S. Saminarsih, pendiri Center for Indonesia’s Development Initiatives (CISDI) yang juga Staf Khusus Menteri Kesehatan Republik Indonesia Bidang Peningkatan Kemitraan dan SDGs, pada satu kesempatan mengatakan bahwa tingginya populasi penduduk Indonesia memaksa pemerintah dan pemangku kepentingan untuk berinovasi dalam menyelesaikan masalah pangan dan keterbatasan lahan pertanian.
“Dengan keterbatasan lahan yang ada dan populasi penduduk yang terus tumbuh, bagaimana pemerintah mampu memanfaatkan lahan yang terbatas itu. Produksi dan konsumsi harus benar-benar diperhatikan,” kata Diah.
Penulis: Danny Kosasih