Jakarta (Greeners) – Banjir bandang melanda Kabupaten Sukabumi pada awal Desember ini. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menduga bahwa aktivitas pertambangan di kawasan hutan pegunungan Guha dan Dano menjadi salah satu pemicu parahnya banjir tersebut.
Berdasarkan pemantauan citra satelit, sedikitnya dua kawasan hutan di pegunungan Guha dan Dano rusak parah pada tutupan hutannya. Deputi Eksternal Eksekutif Nasional Walhi, Mukri Friatna, ada dugaan kuat kehancuran hutan akibat aktivitas pertambangan. Hal itu PT SGC lakukan melalui anak usahanya, yaitu PT Semen Jawa dan PT Tambang Semen Sukabumi.
“Sejak tahun 2015, Walhi telah menolak keberadaan pabrik semen tersebut. Sebab, khawatir akan merusak kawasan karst yang menjadi bahan baku semen,” kata Mukri dalam keterangan tertulisnya.
BACA JUGA: Operasi Modifikasi Cuaca Kurangi Intensitas Hujan hingga 67%
Walhi Jawa Barat telah menurunkan tim investigasi ke Sukabumi sejak 3 Desember lalu. Berdasarkan temuan di lapangan, tidak hanya kawasan Guha dan Dano yang terdampak. Beberapa daerah lain juga mengalami kerusakan hutan dan lingkungan akibat aktivitas tambang.
Direktur Eksekutif Walhi Jabar, Wahyudin, mengungkapkan, terdapat juga kerusakan hutan akibat tambang emas dan galian kuarsa yang mendukung produksi semen di perusahaan SCG.
Salah satunya terjadi di Desa Waluran, Kecamatan Jampang. Pembukaan lahan untuk proyek Hutan Tanaman Energi (HTE) diduga kuat menyebabkan degradasi hutan. PT Perhutani selaku pemegang otoritas kawasan memproyeksikan proyek ini di lahan seluas 1.307,69 hektare (Ha). Serbuk kayu dari proyek tersebut mereka gunakan sebagai pasokan untuk PLTU Pelabuhan Ratu.
Desak Polri Menegakkan Hukum
Selain itu, tim Walhi juga menemukan adanya operasi tambang emas di kawasan hutan. Misalnya di Ciemas yang PT Wilton kelola dengan konsesi seluas 300 Ha, serta di Simpenan oleh PT Generasi Muda Bersatu.
Kawasan perhutanan sosial juga tidak luput dari eksploitasi tambang. Contohnya yang terjadi di petak 93 Bojong Pari dan Cimaningtin dengan luas 96,11 Ha.
Wahyudin menambahkan, menurut Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sukabumi, kawasan-kawasan tersebut tidak termasuk dalam lokasi pertambangan. Bahkan, bukan merupakan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).
BACA JUGA: Alih Fungsi Lahan Perparah Banjir di Jawa Tengah
Menurut Walhi, perusahaan tambang ini secara jelas telah menjadi salah satu penyebab bencana ekologis yang menghancurkan wilayah Sukabumi. Maka dari itu, Walhi meminta Polri agar menegakkan hukum tindak pidana lingkungan.
“Kepada pemerintah, kami mendesak agar menuntut perusahaan untuk memulihkan lingkungan, mengganti kerugian masyarakat dan mengevaluasi areal perhutanan sosial yang menjadi objek tambang. Walhi sangat keberatan jika pemulihan lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat hanya dibebankan kepada negara,” ujar Wahyudin.
Setelah pemerintah mencabut tanggap darurat banjir di Sukabumi, Walhi akan mempertimbangkan untuk menempuh jalur hukum terhadap pihak-pihak yang diduga kuat berkontribusi pada bencana ekologis di Sukabumi. Walhi berharap kepada pemerintah untuk tidak gegabah memberikan perizinan kepada perusahaan ekstraktif dengan alasan investasi.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia