Jakarta (Greeners) – Sejak 20 Juli lalu, beberapa desa di Halmahera Tengah, Maluku Utara terendam banjir. Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Maluku Utara, banjir tersebut akibat rusaknya bentang alam yang dijadikan penambangan nikel. Mereka meminta aktivitas pertambangan di titik lokasi banjir segera dihentikan.
Direktur Walhi Maluku Utara, Faizal Ratuela mengatakan banjir yang merendam desa-desa di Halmahera Tengah tidak terlepas dari rusaknya bentang alam di bagian hulu. Dalam satu dekade terakhir, hutan primer seluas 188 ribu hektar telah mengalami deforestasi seluas 26.100 hektar.
“Deforestasi ini terutama disebabkan oleh penambangan nikel yang masif di Halmahera Tengah,” kata Faizal lewat keterangan tertulisnya, Kamis (25/7).
Faizal menjelaskan saat ini di Halmahera Tengah terdapat 24 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan luas konsesi mencapai 37.952,74 hektar. Selain itu, terdapat konsesi pertambangan nikel milik PT Weda Bay Nikel di kawasan industri Nikel PT IWIP seluas 45.065 hektar.
BACA JUGA: Dua Sungai Meluap di Palangkaraya, Ribuan Jiwa Terdampak
Akibat dari kegiatan pertambangan tersebut, ekosistem hutan tidak lagi berfungsi optimal dalam menahan laju air. Saat hujan dengan intensitas tinggi, air yang bercampur dengan tanah dan material logam mengalir dengan cepat ke wilayah dataran rendah dan pesisir, menyebabkan banjir yang parah.
Faizal menekankan hilangnya tutupan hutan telah memperburuk kondisi lingkungan, meningkatkan risiko bencana alam seperti banjir dan tanah longsor. Ia mendesak pemerintah segera bertindak tegas menghentikan deforestasi dan mengatur aktivitas pertambangan dengan lebih ketat.
“Selain itu, penting untuk merehabilitasi hutan yang sudah rusak agar fungsi ekologisnya bisa kembali pulih. Tanpa langkah-langkah yang konkrit dan berkelanjutan, bencana serupa akan terus mengancam kehidupan masyarakat di Halmahera Tengah,” ujarnya.
6.567 Penduduk Halmahera Tengah Terdampak Banjir
Desa yang terendam banjir di Kabupaten Halmahera Tengah meliputi Desa Woejerana, Woekob, Lelilef Waibulen, dan Lukolamo. Bencana ini menyebabkan penderitaan bagi sedikitnya 6.567 penduduk dan ribuan pekerja tambang yang tersebar di empat desa tersebut. Banjir tidak hanya menggenangi rumah-rumah warga, tetapi juga mengganggu aktivitas ekonomi dan memutus akses transportasi.
Manajer Advokasi Walhi Maluku Utaram, Mobalig Tomaloga, pada Selasa (23/7) melaporkan bahwa intensitas hujan di bagian hulu masih tinggi. Ada enam sungai yaitu Kobe, Akejira, Wosia, Meno, Yonelo, dan Sagea yang berpotensi mengirim banjir yang lebih besar dan merendam lebih banyak desa.
Ia juga menekankan perlunya tindakan cepat dan koordinasi yang lebih baik antara berbagai pihak untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk. Keadaan ini menuntut perhatian serius dari pemerintah daerah dan pusat untuk menangani bencana alam ini dan mencegah dampak yang lebih parah di masa depan.
Desa Pesisir Paling Rentan Terkena Banjir Susulan
Desa pesisir yang terdampak bencana banjir sejak 20 Juli 2024 sangat rentan terhadap banjir susulan karena berada di sekitar kawasan industri pertambangan nikel. Desa-desa ini menghadapi ancaman besar dari aktivitas industri yang intens di sekitarnya yang mencakup beberapa perusahaan besar.
Keberadaan industri pertambangan nikel di wilayah ini berdampak signifikan terhadap lingkungan, terutama dalam hal degradasi lahan dan deforestasi. Aktivitas pertambangan yang ekstensif menyebabkan hilangnya tutupan hutan yang berfungsi sebagai penahan alami aliran air.
BACA JUGA: Banjir di Demak, BNPB Operasikan TMC dan Semai Tiga Ton NaCI
“Ketika hujan deras turun, air hujan yang tidak tertahan dengan baik oleh tanah dan vegetasi yang telah hilang, mengalir deras ke desa-desa pesisir dan menyebabkan banjir,” tambah Faizal.
Selain itu, material tambang yang terbawa aliran air memperburuk kualitas air. Bahkan, menyebabkan sedimentasi yang merusak habitat alami di sepanjang pesisir. Situasi ini tidak hanya membahayakan kehidupan masyarakat setempat, tetapi juga merusak ekosistem pesisir yang vital bagi keberlanjutan lingkungan.
Untuk mengatasi kerentanan ini, perlu tindakan nyata dari pemerintah dan perusahaan pertambangan. Langkah-langkah mitigasi seperti penghijauan kembali, pengelolaan air yang lebih baik, serta memastikan aktivitas pertambangan dihentikan.
“Tanpa upaya yang terkoordinasi dan berkelanjutan, desa-desa pesisir ini akan terus berada dalam ancaman banjir yang semakin parah di masa depan,” imbuhnya.
Pemerintah Belum Serius Atasi Banjir
Walhi Maluku Utara menilai Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah dan Pemerintah Provinsi Maluku Utara, belum menunjukkan keseriusan dalam menyikapi bencana banjir yang terjadi. Padahal, banjir menyebabkan kerugian besar bagi warga dan lingkungan. Namun, respons dari pemerintah daerah tampak lamban dan tidak memadai.
“Situasi penanganan banjir yang lamban jelas mengindikasikan bahwa pemerintah tidak memiliki perencanaan yang jelas dalam menjalankan peran dan tanggung jawabnya untuk mengatasi bencana,” kata Faizal.
Menurutnya, kewenangan ini termasuk dalam hal pengelolaan lingkungan hidup, kehutanan, dan energi serta sumber daya mineral, yang sangat relevan dalam konteks bencana ekologis seperti banjir. Walhi Maluku Utara mengingatkan bahwa keterlambatan evakuasi berpotensi menimbulkan korban yang lebih besar.
Walhi Maluku Utara juga menyoroti kurangnya tindakan tegas dari pemerintah. Itu mencerminkan ketidakseriusan dalam menangani dampak buruk dari aktivitas pertambangan nikel yang telah merusak lingkungan.
Aktivitas pertambangan mengakibatkan deforestasi besar-besaran dan mengurangi kemampuan alami hutan untuk menahan air hujan dan mencegah banjir. Selain itu, Walhi juga menekankan pentingnya penegakan hukum dan regulasi yang sudah ada. Hal itu untuk memastikan kegiatan industri tidak merugikan masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia