Jakarta (Greeners) – Penguasa mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) pada 2 November 2020. Meski berbagai elemen masyarakat dengan tegas menyuarakan penolakan, Presiden Joko Widodo tetap bergeming. Tidak ada tanda-tanda upaya mengevaluasi maupun mencabut UUCK dari penguasa. Arie Rompas Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, mengatakan pengesahan UU Cipta Kerja menandakan Presiden Jokowi mendukung pelemahan perlindungan lingkungan; pengurangan hak-hak pekerja; menambah potensi “tenggelamnya” nelayan kecil tradisional; serta perampasan tanah dan lahan adat masyarakat yang akan berujung pada peningkatan konflik agraria.
“PP (Peraturan Pemerintah) yang tengah disiapkan oleh pemeritah tidak menjamin eksploitasi terhadap sumberdaya alam dan perlindungan lingkungan terjamin. Beberapa pasal yang subtansif telah dilemahkan. Seperti AMDAL, pasal tentang penegakan hukum, dan pemutihan perusaahan yang beraktivitas dalam kawasan hutan,” ujarnya kepada Greeners, Rabu (04/11/2020).
Lebih jauh, Arie juga berpendapat pengesahan UUCK memberi sinyal bahwa penguasa memfasilitasi percepatan bencana kebakaran hutan. Hal ini mengingat banyak substansi dari UU tersebut yang lebih memihak kepentingan oligarki dan korporasi ketimbang kepentingan rakyat. Selain itu, dia juga menyayangkan pengesahan UUCK di tengah situasi pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai.
Menteri LHK: Pengesahan UU Cipta Kerja tetap Kedepankan Prinsip Kehati-hatian
Kembali berkomentar tentang penolakan UUCK, atau Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) meyakini regulasi tersebut tidak akan menimbulkan eksplorasi. Menurutnya, prinsip kehati-hatian di dalam lingkungan yang tertuang dalam UUCK akan tertuang juga di dalam PP.
“Prinsip-prinsip dari Undang-Undang Lingkungan yang ada itu tidak diganggu. Yang dibetulin adalah prosedurnya,” ujarnya pada keterangan pers usai menghadiri Rapat Terbatas, Selasa (03/11).
Secara praktik, imbuhnya, untuk tidak menimbulkan over eksploitasi ataupun kerawanan lingkungan, terdapat beberapa instrumen kontrol, salah satunya adalah instrumen KHLS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis).
“Kita akan terapkan teknisnya nanti di PP, yaitu batasan ataupun instrumen kontrol daya dukung dan daya tampung. Jadi setiap ekosistem, setiap lanskap itu punya daya dukung dan daya tampung, dan itu ada cara untuk mengukurnya,” terang Menteri LHK.
Dia melanjutkan, pendekatan dari konsep perizinan berusaha adalah terutama di standar kelaikan. Instrumen yang KLHK gunanakan, lanjutnya, meliputi penerapan norma, standar, pedoman, dan kriteria. Termasuk penegakan hukum.
“Kami di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) men-develop kelembagaan untuk pengawasan dan pembinaan pengawasan yang berlapis. Paling penting adalah bagaimana pelaksanaannya secara teknis,” ujarnya.
Baca juga: Presiden Tegaskan Program Perhutanan Sosial Bukan Sekedar Pemberian SK
Aktivis: UUCK Mengantar Rakyat ke Ambang Ekspolitasi Masif
Pada kesempatan yang berbeda, Manajer Kampanye Air, Pangan, Ekosistem Esensial, Eksekutif Nasional, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Wahyu Perdana, mengatakan tidak masuk akal jika Menteri LHK berkata UUCK tidak melanggengkan eksplorasi yang lebih besar. Malah, menurut Wahyu, rakyat Bumi Pertiwi berada dalam ambang eksploitasi lebih besar dengan sahnya UUCK. Pasalnya, PP yang bakal kementerian terbitkan pastinya tidak akan bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, yakni UU itu sendiri.
“Tata urutan perundang-undangan di seluruh level kebijakan, tidak bisa regulasi yang di bawahnya bertentangan dengan regulasi yang ada di atasnya. Patokannya di UU, PP itu hanya mengatur soal tata pelaksanaan teknis dan penjabaran bukan mengatur hal baru. Bahkan, sebelum diundangkan atau keluar nomor, dalam perencanaannya LHK bahkan sudah menyiapkan PP,” ujar Wahyu kepada Greeners melalui telepon, Rabu (04/11).
Masih Terdapat Kesalahan dalam UUCK yang Telah Sah
Wahyu juga mengkritisi prosedur pembuatan UUCK yang memiliki jamak kesalahan. Di antaranya, dia menyebut banyaknya versi UUCK yang beredar, kesalahan pengetikan, dan kesalahan dalam merujuk pasal. Wahyu lalu menyebut halaman pertama pasal 6 yang berbunyi “Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a meliputi: ….”. Dari pasal ini, tampak jelas kesalahan redaksional, yakni pasal 5 tidak memiliki ayat 1, sebagaimana tertera pada pasal 6.
“Beberapa fraksi DPR sama-sama cuci tangan terkait kesalahan-kesalahan tersebut. Dari segi teknis pengetikan saja sudah salah apalagi dari sisi material substantif memiliki pekerjaan rumah yang harus diperhatikan dan diperbaiki di semua sektor bukan hanya di lingkungan,” kata Wahyu.
Selain itu, Wahyu mereken jika tujuan pemerintah mengutamakan investasi, menurut analisanya investasi dalam UUCK lebih mengarah kepada eksploitatif dan menggunakan lahan luas. Artinya, hal itu akan berdampak sangat besar kepada lingkungan. Jika terus-menerus seperti itu, lanjutnya, pada saat yang sama penghidupan masyarakat yang bergantung pada alam akan hilang dan terjadi kehilangan sumber penghidupan di alam.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Ixora Devi