Jakarta (Greeners) – Keberhasilan Indonesia dalam menurunkan deforestasi dan degradasi hutan mendapat pengakuan global. Pengakuan global ini di antaranya dalam bentuk pemberian dana sebesar US$103,8 juta sebagai pembayaran kinerja. Pemberian dana ini melalui skema Result Based Payment (RBP) dari Green Climate Fund (GCF). Di sisi lain, aktivis lingkungan hidup cemas Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) akan pengaruhi capaian global pengelolaan hutan berkelanjutan Tanah Air.
Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Muhammad Teguh Surya mengkhawatirkan dana GCF sebagai bentuk apresiasi dan pengakuan global atas capaian Indonesia dalam pengelolaan hutan berkelanjutan akan terpengaruh dengan kehadiran UUCK. Kekhawatirannya terutama karena isi regulasi anyar yang memberikan sinyal kemudahan untuk membuka ruang lahan dan penggundulan hutan atas nama investasi.
“Hal ini akan berimplikasi lebih kepada komitmen ke depan, karena Indonesia dan dunia baru akan memulai fase baru dalam melawan krisis iklim sampai dengan 2030. Saat ini setidaknya dengan UUCK ada 3,4 juta hektar hutan alam di kebun sawit yang siap ditebang. Selain itu, masih ada 9,5 juta hektar hutan alam yang tersisa karena belum terlindungi oleh kebijakan perlindungan hutan,” ujar Teguh saat dihubungi Greeners, Jumat (06/11/2020).
UUCK Datangkan Dua Tantangan Baru dalam Perhutanan Sosial
Sebelumnya, global tidak sekedar menilai keberhasilan Indonesia di masa lalu, melainkan juga konsistensi Bumi Pertiwi mencegah deforestasi di masa depan. Menurut Teguh, belakangan berbagai kalangan mempertanyakan konsistensi tersebut. Teguh mengatakan, sesuai arahan Presiden Joko Widodo, pemerintah memfokuskan dana GCF pada dua hal, yakni Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan Perhutanan Sosial (PS). Keduanya merupayakan upaya mempercepat implementasi untuk NDC (Nationally Determined Contribution) di sektor hutan dan lahan.
“Kami juga melakukan kajian, ditemukan jika Perhutanan Sosial dipercepat implementasinya dan tepat sasaran maka bisa berkontribusi sebesar 34 persen untuk NDC di sektor hutan dan lahan. Selain itu, Perhutanan Sosial dapat mengakui hak kelola masyarakat atas hutan dan jika hutan dikelola dengan baik maka masyarakat mendapatkan insentif,” ujar Teguh.
Lebih jauh, Teguh mereken paling tidak terdapat dua tantangan dalam menerapkan Perhutanan Sosial. Pertama, pemerintah mengalokasikan kawasan hutan Perhutanan Sosial yang tumpang tindih dengan izin pengusaha mineral, gas, batu bara, kelapa sawit, dan Hutan Tanaman Industri. Kedua, UUCK memudahkan pemberian izin perorangan untuk program Perhutanan Sosial, hal ini berpotensi memperluas ketimpangan penguasaan lahan.
Aktivis: Perundangan Bukan Faktor Tunggal Upaya Mengerem Deforestasi
Sementara itu, Ketua Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIK Indonesia) Mahawan Karuniasa memberikan benefit of the doubt, kesempatan untuk pembuktian, kepada penguasa dengan UUCK-nya. Tidak seperti Teguh, Mahawan tidak serta merta menyatakan UUCK membuka peluang kerusakan lingkungan hidup yang lebih besar.
Dia menilai, berbagai peraturan perundangan sebelumnya, seperti UU 32 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, juga melanggengkan kerusakan lingkungan hidup. Di sisi lain proses perizinan pada UU terdahulu relatif lebih panjang, yang tentunya membuka potensi praktek korupsi yang lebih besar. Sebaliknya, UU Cipta Kerja meringkas perizinan, sehingga di satu sisi berpotensi mengurangi praktek korupsi pada proses perijinan.
Berkaitan dengan pendanaan iklim maupun bentuk pendanaan maupun investasi hijau lainnya, Mahawan mengatakan pada prinsipnya investasi hijau jika berhadapan pada perijinan yang panjang dan berbelit juga akan menjadikan hambatan. Menurutnya, UUCK membuka peluang percepatan investasi hijau yang tentunya mendukung upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Termasuk melalui GCF, sebagai suatu mekanisme pendanaan hijau, khususnya untuk upaya aksi iklim global.
“Melihat kerusakan lingkungan yang telah terjadi dengan berbagai peraturan yang sebenarnya dapat menghindarinya, menunjukkan bahwa sebenarnya peraturan perundangan bukanlah faktor tunggal. Boleh jadi komitmen politik, politik ekonomi, serta sistem sosial yang ramah lingkungan lebih menentukan keberhasilan untuk melestarikan lingkungan ketimbang hanya bersandar pada UU Cipta Kerja saja,” ujar Mahawan.
Baca juga: Produsen Lepas Tangan Soal Limbah Gawai Elektronik
Pemerintah Istikamah pada Target Pengurangan Emisi Karbon
Di sisi lain, Mahawan mereken pemerintah telah membaca berbagai pengaruh kebijakan maupun politik akan target komitmen iklim nasional. Pada dokumen termutakhir Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia yang sudah Presiden RI sahkan dan telah pemerintah serahkan kepada UNFCCC pada Maret 2020, target angka penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Indonesia tidak berubah dari target yang tercantum dalam dokumen pertama NDC Indonesia pada November 2016. Penurunan besaran emisi masih tercatat sebesar 29 persen dan 41 persen pada tahun 2030 dengan dukungan kerjasama internasional.
Hal tersebut karena besarnya tantangan untuk mencapai target. Di antaranya, target laju deforestasi sebesar <0,45 – 0,325 Mha/tahun di 2030; target Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) 800,000 ha/tahun dengan survival rates sebesar 90 persen; pemenuhan komitmen bauran energi 23 persen pada tahun 2025; penerapan clean coal technology-CCT sebesar 75 persen di sub sektor ketenagalistrikan (batu bara); dan juga implementasi PLTSa di 7 kota masih terkendala; dan lain-lain.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Ixora Devi