Jakarta (Greeners) – Pemerintah tengah membangun proyek destinasi wisata di pulau Rinca, Nusa Tenggara Timur (NTT). Nantinya, destinasi ini tidak hanya menawarkan keindahan alam yang membentang sepanjang mata, melainkan juga kehadiran komodo. Menyokong komodo sebagai raksasa reptil khas nusantara yang mengandung gen satwa purba, pemerintah menjuluki proyek ini “Jurassic Park”.
Peneliti dari Sun Spirit For Justice and Peace, Gregorius Afioma menilai proyek Jurassic Park berdampak buruk tidak hanya bagi komodo, tapi juga bagi warga lokal. Foto viral yang dia unggah pada 23 Oktober, menggambarkan komodo menghadang truk. Foto ini memantik simpati masyarakat yang merasa iba kepada komodo di foto tersebut. Sampai berita ini diturunkan, tidak kurang dari 285ribu netizen mengacungkan jempol di laman media sosial pria yang akrab dipanggil Afi ini. Perhatian masyarakat pun menuju pada proyek pembangunan di Taman Nasional Komodo (TNK).
Lebih jauh, Afi menyebut proyek wisata di banyak wilayah NTT sebagai bentuk ketidakadilan pengelolaan wisata. Pasalnya, warga Pulau Rinca tidak punya hak mengelola wisata. Afi menunjuk pemerintah, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), memonopoli pengelolaan wilayah pariwisata. Dia menilai, monopoli ini hanya menguntungkan investor atau pengusaha besar.
“Ini memperdalam ketimpangan dan ketidakadilan dalam pengelolaan wisata alam. Sejak 1980 Taman Nasional Komodo ini dimonopoli atau dikelola oleh KLHK. Sementara masyarakat dalam kawasan punya otoritas melalui desa, tapi mereka tidak punya hak mengelola destinasi wisata di daerahnya sebab itu monopoli KLHK,” ujar Afi kepada Greeners, Selasa (27/10/2020).
Baca juga: LSM: Foto Viral Buktikan Pembangunan Habitat Usik Komodo
Aktivis: Warga Lokal Selalu Kalah
Afi menyayangkan model pengelolaan konservasi berbasis investasi oleh pemerintah. Dia menilai, hal ini mempertajam ketimpangan dan ketidakadilan pengelolaan wisata alam bagi masyarakat setempat.
“Masyarakat tidak punya hak mengelola destinasi wisata di daerahnya sebab itu monopoli KLHK. Giliran pengusaha datang diberi izinnya sementara masyarakat desa atau pengelolaan wisata yang berbasis komunitas selama ini tidak diberdayakan,” protes Afi.
Afi lalu melaporkan pantauannya dari kawasan NTT. Dia menyebut, selain Jurassic Park di pulau Rinca, pembangunan destinasi wisata di kawasan TNK juga sudah dimulai. Menurut Afi, dampak pembangunan wisata ini sangat kompleks. Afi menilik tipologi masyarakat yang berbeda dari segi pencaharian. Sebagai perbandingan, di pulau Rinca kebanyakan masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan, sedangkan di pulau Komodo sudah beralih ke sektor wisata. Meski ada perbedaan profesi, dampak pembangunan di TNK selalu merugikan masyarakat.
“Jadi kompleks kalau lihat dampak pembangunan itu. Setiap daerah punya problemnya. Semua (masyarakat) dirugikan sebenarnya, yang berbeda mungkin bentuknya saja,”jelasnya.
Saat ditanyai mengenai tanggapan pemerintah daerah mengenai protes warga lokal, Afi mengatakan ungkapan keberatan warga terhadap pembangunan di wilayah TNK ke pemerintah laksana berbicara dengan tembok. Padahal, pihaknya telah melakukan berbagai upaya mulai dari tingkat desa hingga pusat.
“Tanggapan (pemerintah) sangat normatif dan itu-itu saja komentarnya. Sebab pemerintah daerah tidak bisa leluasa dan sulit bergerak banyak. Meski dipilih independen dan berdaulat, tapi ada dalam belenggu yang semuanya ada di pusat atau partai,” ungkap Afi.
Aktivis Sesalkan Penutupan Akses Wisata Pulau Rinca
Sesaat setelah foto komodo menghadang truk viral, KLHK melalui Balai Taman Nasional Komodo menerbitkan surat pengumuman terkait penutupan sementara Resort Loh Buaya, Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah I Pulau Rinca per 26 Oktotober 2020 hingga 30 Juni 2021. Penutupan ini dituliskan sebagai upaya peningkatan pelayanan dan keamanan wisatawan.
Menganggapi langkah ini, Afi mengatakan pihaknya belum membahas lebih jauh. Meski begitu, Afi menilai pengumuman ini jelas hanya menguntungkan pemerintah dan investor, mengingat dalam pengumuman tersebut memuat tentang percepatan penataan lokasi destinasi wisata.
“Semua orang tahu untuk apa pengumuman itu. Untuk sementara belum ada langkah. Tapi kami menolak penutupan itu,” tegasnya.
Lebih jauh Afi menyampaikan proyek pembangunan destinasi wisata juga berpotensi mengganggu ruang hidup komodo. Dibanding proyek pembangunan lain di TNK, pembangunan di pulau Rinca paling mengancam sebab mengubah bentang alam yang ada. Padahal, bentang alam Pulau Rinca tidak hanya sekedar gula-gula mata, melainkan juga ruang interaksi hewan di pulau tersebut.
“Pola hubungan dan relasi akan berubah. Misal ketika interaksi antar hewan ditaruh bangunan, apakah hewan-hewan mau ke situ? Itu saya kira belum dibahas secara utuh,” tutup Afi.
Penulis: Muhammad Ma’rup
Editor: Ixora Devi