Sungai Ciliwung perlu pengelolaan yang sesuai bentang alam agar tidak menimbulkan masalah. Setiap hujan deras melanda, banjir besar kerap terjadi di sepanjang aliran Ciliwung. Di sisi lain, pemerintah kurang melibatkan masyarakat –dalam hal ini komunitas lingkungan– dalam mengelola Ciliwung.
Jakarta (Greeners) – Koordinator Ciliwung Institute, Sudirman Asun, mengatakan salah satu masalah sungai Ciliwung adalah masalah struktural. Menurutnya, masalah struktural berkaitan dengan pengelola resmi sungai Ciliwung yang berada di bawah komando pemerintah pusat.
Asun meminta komunitas masyarakat lebih bisa terlibat dalam pengelolaan sungai Ciliwung sebagai salah satu pemangku kebijakan. Hal ini melihat luas wilayah sungai serta beragam potensi di dalamnya.
“Dengan luas Ciliwung dan beragam potensinya harus ada desentralisasi atau masyarakat dilibatkan dalam pengambilan kebijakan. Saat ini, komunitas dimanfaatkan untuk seremoni saja. Tapi, ketika dalam pengambilan kebijakan, komunitas itu pesannya tidak terakomodir,” ujar Asun dalam diskusi Sungai di Tengah Guyuran Beton, Minggu, (17/1/2021).
Pengelolaan Ciliwung Terkendala Tupoksi
Asun menyebut Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) maupun anggaran terbesar pengelolaan sungai Ciliwung berada di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Menurutnya, hal ini cenderung membatasi ruang pengelolaan Ciliwung. Sebagai contoh masalah banjir, PUPR menawarkan solusi berupa normalisasi sungai dengan membangun tanggul tinggi dari beton.
Contoh lain, lanjut Asun, adalah pengelolaan sampah di sungai Ciliwung. Dia menyebut, Kementerian PUPR melalui Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Ciliwung-Cisadane, hanya mengelola sampah yang berada di air sungai saja. Tapi, untuk sungai yang berada di daratan sungai menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.
“Jadi saling lempar masalah. Bisa dibayangkan dengan sumber daya mereka harus bertanggung jawab mengurusi sungai yang beratus kilometer,” jelasnya.
Baca juga: Pengaruh Polar Vortex Split Pada Kondisi Cuaca Indonesia
Ciliwung Institute Tolak Betonisasi yang Tidak Sesuai dengan Kondisi Bentang Alam
Lebih jauh, Asun, mengatakan salah satu solusi palsu pemerintah pusat mengelola Ciliwung adalah normalisasi sungai dengan membangun tembok beton atau betonisasi. Menurutnya, hal tersebut bertujuan untuk mengalirkan air sungai secepatnya ke laut. Sayang, pada praktiknya malah kontradiktif mengingat pembangunannya kerap tidak sesuai dengan kondisi bentang alam Sungai Ciliwung.
Hal tersebutlah yang membuat Ciliwung Institut menolak kebijakan tersebut. Adapun Ciliwung Instute lebih mendukung konsep naturalisasi dengan menggunakan pendekatan alami serta memaksimalkan kearifan lokal masyarakat sekitar.
“Pemerintah membangun beton di sempadan sehingga mempersempit sungai. Itu bertolak belakang dengan plan. Kami bukan menolak betonisasi. Tapi, penerapan aplikasi tidak sesuai pada tempatnya. Hal-hal tertentu beton dibutuhkan untuk infrastruktur penguatan tebing sungai,” ucapnya.
Sungai Ciliwung Sumber Kehidupan, Bukan Sekadar Drainase
Asun menekankan, alih-alih sebagai irigasi atau drainase, Ciliwung adalah sumber kehidupan masyarakat. Menurutnya, jika masyarakat menyadari Ciliwung sebagai sumber kehidupan, maka masyarakat tidak akan takut pada sungai, sehingga bisa lebih terlibat menjaga kelestariannya.
Asun menambahkan betonisasi yang tidak sesuai malah mengancam kehidupan di sekitar sungai. Tidak hanya merusak kondisi bentang alam, tapi juga menggusur pemukiman warga dan membuat masyarakat berjarak dengan mengubah pola hidup masyarakat yang harusnya bergantung dari air sungai.
“Kami menyayangkan ada disinformasi selama ini bahwa kampung-kampung pinggir sungai dituduh sebagai penyebab banjir. Sebenarnya, kami di hilir ini adalah korban. Kita bisa membayangkan bahwa kondisi bentang alam di hulu rusak, kemudian masyarakat lagi-lagi yang disalahkan pemerintah,” pungkasnya.
Penulis: Muhammad Ma’rup
Editor: Ixora Devi