Keputusan pemerintah mengeluarkan limbah batu bara yaitu Fly Ash and Bottom Ash (FABA) dari kategori limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) mendapat catatan merah –khususnya dari aktivis lingkungan. Para aktivis menyayangkan keputusan tersebut mengingat dampak buruk FABA bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat. Mereka menilai keluarnya FABA juga tidak akan menjadi jalan keluar bagi minimnya pengelolaan FABA oleh industri terkait.
Jakarta (Greeners) – Ketua Desk Politik Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Khalisa Khalid, mengatakan pertimbangan pemerintah mengeluarkan FABA dari kategori B3 kurang tepat. Menurutnya, penilaian jenis limbah B3 tidak bisa hanya dari sifat atau konsentrasi. Dampak terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat juga harus jadi pertimbangan.
“Dampak yang dialami oleh masyarakat dan lingkungan serta ekosistem itu menjadi penting untuk kita lihat. Kita terus mendorong atau mendesak bahwa FABA masuk limbah B3. Bukan hanya sifat, tapi timbunan oleh FABA ini cukup tinggi,” ujar Khalisa dalam siaran media briefing, Jumat, (12/3/2021).
Walhi: FABA jadi Limbah NonB3 Buktikan Kejahatan Lingkungan
Lebih jauh, Khalisa menyebut berubahnya status FABA menjadi limbah non-B3 merupakan bentuk pelonggaran peraturan. Menurutnya, langkah tersebut bukti negara secara sistematis berniat melakukan kejahatan lingkungan.
Dia menilai pencabutan FABA dari limbah B3 merupakan cara untuk menguntungkan korporasi. Tindakan tersebut inkonstitusional mengingat negara dalam hal ini pemerintah harusnya melindungi hak lingkungan hidup yang bersih dan sehat bagi warga negara.
“Secara pelan-pelan, negara sistematis melakukan pembunuhan terencana. Bukan hanya generasi ini, tapi juga mendatang. Dari segi regulasi, bukan hanya melanggar aturan, tapi juga inkonsititusional secara terencana dan sistematis oleh negara,” tegasnya.
Sementara itu, peneliti dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Fajri Fadillah, menilai risiko FABA menjadi limbah non-B3 adalah kurangnya aspek pencegahan. Ketika masih berstatus limbah B3, ada serangkaian tes dan penilaian untuk bisa mengeluarkan FABA dari B3. Sedangkan dalam PP 22 tahun 2021 sebagai regulasi yang mengeluarkan FABA dari limbah B3, prosedur atau tata cara pengujian tersebut tidak ada.
Dia menambahkan dari segi penegakan hukum dan sanksi, ancaman hukuman untuk kejadian pengelolaan FABA juga melemah. Menurutnya, sebab bukan berstatus B3, ancaman pidana untuk pelaku yang mengelola FABA tidak sesuai aturan tidak bisa digunakan. Jika ada pihak yang menggugat, hukuman bisa lebih longgar sebab ada ruang intepretasi dari pihak yang melanggar.
“Jadi contoh saya pelaku usaha PLTU batu bara, saya punya insentif dan bisa main-main. Tidak usah serius untuk mengurus buba tubara, sebab tidak ada pidana. Pertanggung jawaban itu untuk limbah udah jadi enak banget bisa lepas dari jerat hukuman,” ucapnya pada acara yang sama.
Baca juga: KemenESDM Terangkan Potensi FABA PLTU sebagai Limbah Non-B3
Transisi Energi Bersih Baru Terbarukan Terhambat
Peneliti dari Trend Asia, Andri Prasetyo, menjelaskan langkah pencabutan FABA dari limbah B3 menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap industri dan pengusaha batu bara. Kebijakan tersebut keliru jika melihat perkembangan hari ini dunia tengah bergerak untuk menggunakan energi bersih dan Energi Baru Terbarukan (EBT).
Menurutnya, saat ini harga untuk mengakses EBT sudah bisa bersaing dengan harga energi kotor seperti batu bara. Namun, adanya kemudahan dari segi hulu dan hilir bagi industri batu bara membuat tansisi EBT di Indonesia akan terhambat.
“Secara proses ini cara transisi buruk untuk beralih ke energi bersih dan terbarukan. Kalau demikian, kita tidak menjadikan EBT jadi utama dab akan tergantung terus dengan batu bara karena murah. Padahal ilusi. Keuntungan diambil sebagian elit, tapi kesehatan ditanggung masyarakat,” katanya.
Penulis: Muhamad Ma’rup