Aktivis perikanan dan kelautan mengkritisi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang mereka nilai kehilangan objektivitas dan orisinalitas. Terutama dalam merumuskan kebijakan tentang penggunaan alat tangkap. Menurut para aktivis, inkonsistensi aturan akan berdampak buruk pada tata kelola perikanan yang bisa merusak keberlanjutan sumber daya ikan.
Jakarta (Greeners) – Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh. Abdi Suhufan, mengatakan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No.59/2020 saat ini mengizinkan penggunaan alat tangkap cantrang bagi kapal ukuran di bawah 30GT yang beroperasi di Jalur II WPP 712. Padahal, menurut Abdi, status sumber daya ikan di WPP 712 sudah over exploited. Beleid tersebut juga membolehkan kapal cantrang ukuran di atas 30GT beroperasi di ZEEI 711 yaitu Laut Natuna.
“Jadi perubahan aturan ini bisa berubah 180 derajat tergantung siapa yang menjadi Menteri dan Menteri berteman dengan siapa,” ujar Abdi pada pernyataan resminya kepada Greeners, Minggu (13/12/2020).
Abdi bercerita, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo –sebelum ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)— mengeluarkan Permen KP No.59/2020 yaitu tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Laut Lepas.
Aturan tersebut membolehkan penggunaan alat tangkap yang sebelumnya dilarang oleh Permen KP No.71/2016. Permen KP No.59/2020 sekaligus menganulir Permen KP No.2/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkap Ikan Pukat Hela (trawls) dan Pukat Tarik (seint net).
Permen KP No.59/2000 Kembali Izinkan Cantrang, Dogol, dan Pukat
Menurut Abdi, Menteri Edhy lupa, empat tahun lalu Presiden telah mengeluarkan Keputusan Presiden No.39/1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl. Dalam Permen KP No.59/2020, alat tangkap yang kembali diizinkan beroperasi adalah cantrang, dogol, pukat ikan, dan pukat hela dasar udang.
Perubahan aturan penangkapan ikan dalam lima tahun terakhir ini menunjukan buruknya tata kelola perikanan dan inkonsistensi kebijakan. Hal ini akan merugikan nelayan, pelaku usaha, dan ancaman keberlanjutan sumber daya ikan.
“Ini juga bertolak belakang dengan hasil uji coba pengiriman kapal cantrang bulan Mei 2020 yang gagal karena karakteristik perairan Natuna tidak cocok dengan alat tangkap cantrang. Belakangan kapal cantrang di Natuna terindikasi beroperasi di jalur I dan II dan menyebabkan konflik dengan nelayan lokal Natuna,” ujar Abdi.
Aktivis Perikanan Soroti Tiga Persoalan Serius Permen KP No.59/2020
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati, menyebut penerbitan Permen KP No.59/2020 yang melegalkan cantrang sebagai alat tangkap memiliki sejumlah persoalan serius. Susan pun merincikan tiga persoalan serius Permen tersebut.
Kiara: Tiga Persoalan Serius Permen KP No.59/2020
1. Mengabaikan Temuan KKP Sebelumnya
Permen ini mengabaikan temuan KKP dalam dokumen Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir tahun 2018 yang menyebut cantrang dapat menyebabkan tiga hal: mendorong penangkapan ikan yang tidak efektif dan eksploitatif, menghancurkan terumbu karang yang menjadi rumah ikan, dan memicu konflik sosial-ekonomi nelayan di tingkat akar rumput.
“Sungguh aneh KKP menerbitkan Permen ini pada tahun 2020, dua tahun setelah dokumen Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir tahun 2018 dipublikasikan. Apa dasar kajian ilmiah cantrang dilegalkan oleh Permen 59/2020?” tanya Susan.
2. Melayani Pengusaha Besar
Belajar dari kasus Permen No.12/2020 tentang pengelolaan lobster, kepiting, dan rajungan, Permen No. 59 Tahun 2020 memiliki semangat yang sama, yaitu melayani pengusaha besar dalam sektor perikanan. Indikatornya, izin penggunaan cantrang diberikan kepada kapal penangkap ikan berukuran 10-30 GT.
“Artinya, dengan memperhatikan ukuran kapal yang diberi izin menggunakan cantrang, kapal-kapal pengusaha perikanan skala besarlah yang dilayani oleh Permen 59/2020 ini,” tegas Susan.
3. Mendorong Eksploitasi di Perairan Laut Jawa
Dengan memberikan izin penggunaan cantrang di WPP 712 yang berada di perairan laut Jawa, KKP terus mendorong eksploitasi sumber daya ikan di kawasan tersebut demi memanjakan para pengusaha perikanan skala besar yang rata-rata berada di kawasan utara Pulau Jawa.
“Dengan terbitnya Permen 59/2020, KKP tidak mempertimbangkan keberadaan 470.020 nelayan skala kecil yang berada di sepanjang pantai utara Pulau Jawa yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap sumber daya ikan untuk hidupnya.”
Lebih jauh, Susan menjelaskan Permen ini semakin memperberat ancaman kehidupan nelayan skala kecil di kawasan utara Pulau Jawa yang harus berhadapan dengan dampak buruk krisis iklim dan ekspansi proyek reklamasi serta proyek tambang pasir.
“Dengan terbitnya Permen No. 59/2020, semakin lengkaplah ancaman yang harus dihadapi oleh nelayan skala kecil yang tinggal di kawasan utara Pulau Jawa,” pungkas Susan.
Baca juga: Ma’ruf Amin Imbau Pengusaha untuk Jaga Lingkungan
Aktivis Perikanan: Inkonsistensi Berpotensi Sebabkan Kebingungan dalam Penegakan Aturan
Sementara itu, peneliti DFW Indonesia, Muh Arifuddin meragukan upaya pengawasan dan penegakan hukum dari pelaksanaan Permen KP No.59/2020. Aparat penegak hukum di lapangan akan kebingungan menegakan aturan karena kegiatan yang tadinya dilarang kini dibolehkan.
Transisi dan perubahan ini berpotensi menimbulkan ruang transaksi di tengah laut. Akibatnya adalah ekonomi biaya tinggi masih terjadi dan nelayan serta pelaku usaha yang akan menanggung akibatnya.
Dia juga mensinyalir masih banyak kapal cantrang di Pantura yang belum melakukan ukur ulang dan terindikasi mark down.
“KKP masih berutang untuk memastikan kapal cantrang di Pantura telah melakukan ukur ulang’’ kata Arif.
Arif menyarankan agar Presiden Joko Widodo melakukan evaluasi terhadap Permen KP No.59/2020 yang bertolak belakang dengan Keputusan Presiden No.39/1980.
“Sesuai Kepres 39/1980, penggunaan trawl dan pikat tarik sebaiknya dihilangkan secara bertahap untuk beroperasi di laut Indonesia. Pemerintah perlu lebih fokus melaksanakan aturan dari pada sibuk membuat aturan baru yang bisa menimbulkan masalah baru di lapangan,” kata Arif
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Ixora Devi