Dengan harapan menarik dana investasi dari luar negeri, pemerintah membentuk Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau Indonesia Investment Authority (INA), dengan modal awal Rp75 triliun. Organisasi lingkungan berharap, LPI mempunyai kebijakan terkait industri fosil yang merupakan salah satu penyebab perubahan iklim.
Jakarta (Greeners) – Ahmad Ashov Birry, Direktur Program Trend Asia, menerangkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Proyek Strategis Nasional (PSN) –yang terdiri dari 201 proyek PSN– sepuluh di antaranya mendapatkan modal dari INA. Proyek di sektor energi didominasi oleh industri fosil (14 dari 15 proyek PSN di sektor energi) yaitu minyak bumi, gas, dan batu bara.
Selain itu, berdasarkan kajian sementara dari daftar program PSN khususnya Program Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan (PIK), setidaknya terdapat potensi 56 proyek PLTU Batu Bara dengan total kapasitas yang rencananya akan seiring waktu akan dibangkitkan sebesar lebih dari 13,6 GW.
“Komitmen politik dan kebijakan pemerintahan Jokowi untuk industri ramah lingkungan khususnya energi terbarukan yang berkeadilan memang rendah dan lemah. Komitmen politik yang rendah dan kebijakan yang berat sebelah ke industri fosil itu dapat dijelaskan salah satunya dengan perspektif konflik kepentingan industri fosil khususnya batu bara dalam pemerintahan Jokowi,” ujar Ahmad kepada Greeners, Jumat, (29/02/2021).
Lembaga Pengelola Investasi Berdiri di atas Produk UU Kontroversial
Berbagai kajian dari Koalisi #BersihkanIndonesia menunjukkan konflik kepentingan industri batu bara yang begitu kuat, yang mewarnai pemerintahan Jokowi mulai dari kontestasinya di Pilpres 2019, kabinet pemerintahan, revisi UU Minerba, hingga penyusunan dan penetapan UU Omnibus Cipta Kerja yang melandasi pembentukan LPI dan PSN.
Ahmad menyatakan, INA berdiri di atas produk undang-undang kontroversial yang mendapatkan penolakan masif dan luas dari masyarakat, dan kekhawatiran dari investor global atas dasar potensi besar akan konflik kepentingan industri fosil, khususnya batu bara. Mulai dari proses perumusan hingga produk akhirnya.
Penolakan dari masyarakat juga berdasarkan pada dampak negatif sosial, lingkungan, dan ekonomi dari industri fosil –khususnya batu bara– yang tidak kunjung terselesaikan.
“Kami mengharapkan INA membuat kebijakan yang tidak mendukung infrastruktur yang mendorong energi fosil. Seperti rel kereta api yang mentransportasikan batu bara, pelabuhan untuk batu bara. Kajian dari Koalisi #BersihkanIndonesia yang berkaitan dengan Proyek Strategis Nasional (PSN)–yang akan dimodali oleh INA– menemukan bahwa mayoritas proyek PSN (proyek PSN dan program PSN) berpotensi berkaitan dengan energi fosil, padat polusi dan emisi serta lahan, dan berpotensi memarjinalkan masyarakat luas dan melanggar hak asasi manusia,” ujarnya.
Saat ini, kata Ahmad semakin banyak institusi keuangan dan perbankan global yang berkomitmen untuk menyudahi dukungan kepada industri fosil khususnya batu bara. Secara cepat hal tersebut akan menjadi norma investasi. Dengan memasukkan infrastruktur pendukung energi fosil untuk dimodali oleh LPI, maka Indonesia membatasi dirinya sendiri dalam hal pendanaan.
“Sampai saat ini, LPI/INA masih akan melengkapi struktur kepengurusannya dan kemudian melakukan pencarian dana untuk INA, sehingga belum diketahui berapa jumlah dana kelolaan INA yang akan dialokasikan ke sektor energi fosil. Namun, hendaknya investasi dilakukan pada sektor sektor yang ramah lingkungan, termasuk pengembangan energi terbarukan karena sistem energi Indonesia masih didominasi oleh bahan bakar fosil. Di lain sisi, kepengurusan LPI pun harus menghindari konflik kepentingan industri fosil, khususnya batu bara,” kata Ahmad.
Semakin Banyaknya Bencana, Dampak Perubahan Iklim Semakin Nyata
Sementara itu, daya tampung lingkungan di daerah-daerah di mana batu bara itu dibakar untuk energi secara massif, terutama di Jawa, juga sudah melewati batas. Kualitas udara menurun karena dibebani salah satunya dari pencemaran dari PLTU-PLTU batu bara.
“Daya dukung lingkungan daerah-daerah yang dieksploitasi secara ugal-ugalan oleh industri fosil tambang batu bara, dan difasilitasi juga secara ugal-ugalan oleh pemerintah seperti di Kalimantan dan Sumatera sudah sejak lama rusak,” tambah Ahmad.
Emisi gas rumah kaca dari industri batu bara terus mendorong perubahan iklim, yang dampaknya (salah satunya curah hujan ekstrem) memperparah dampak dari kerusakan daya dukung lingkungan.
Para peneliti mengungkapkan di daerah tropis yang selama ini daerah basah karena hujan akan terjadi peningkatan hujan karena dampak dari perubahan iklim.
Fenomena El Nino Southern Oscillation (ENSO) juga diprediksi akan terdampak oleh perubahan iklim. Frekuensi dan kekuatan El Nino dan La Nina ekstrem berpotensi meningkat. Hari ini, fase ekstrem ENSO terjadi sekali dalam 20 tahun. Namun di akhir abad 21, dalam skenario emisi gas rumah kaca yang agresif, fase ekstrem dapat terjadi sekali dalam 10 tahun. Indonesia, yang berada di ekuator bagian barat Samudra Pasifik akan mengalami curah hujan ekstrim saat La Nina ekstrem.
Pius Ginting, Koordinator Perkumpulan AEER (Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat) menyatakan bencana hidrometeorologis dari banjir hingga kenaikan permukaan air laut kian meningkat seiring dengan pemanasan global yang diakibatkan oleh penggunaan energi fosil.
“Biaya besar dan hingga korban jiwa telah terjadi. Menyediakan lapangan pekerjaan dengan membuka pengembangan industri batu bara dan perkebunan tidak efektif dan dampak kerusakannya lebih besar, seperti dalam kejadian banjir di Kalimantan Selatan, walau sudah banyak investasi tambang dan perkebunan, terdapat pengangguran 80.000 orang, setengah pengangguran 800.000 orang, dan bekerja paruh waktu 590.000 orang. Karenanya perlu kebijakan investasi dari LPI agar tidak mendukung bisnis yang menunjang pengembangan energi fosil, khususnya batu bara,” tutup Pius.
Penulis: Dewi Purningsih