Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia menetapkan Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) sebagai tersangka dugaan suap ekspor benih lobster. Dengan tertangkapnya Edhy Prabowo, aktivis perikanan mendesak KPK melakukan penyelidikan dan pengusutan lebih dalam. Utamanya kepada sejumlah perusahaan yang telah melakukan ekspor benih lobster berdasarkan izin dari Edhy Prabowo.
Jakarta (Greeners) – Berdasarkan laporan KPK, Edhy Prabowo menerima suap dari Direktur PT Dua Putra Perkasa Pratama, Suharjito. KPK menduga pemberian fulus ini agar Edhy membantu menetapkan perusahaan Suharjito sebagai eksportir benih lobster melalui forwarder, PT Aero Citra Kargo (PT ACK). PT ACK merupakan satu-satunya forwarder ekspor benih lobster yang mendapat restu dari Edhy dalam kapasitasnya sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Sebagai pemain tunggal, sejumlah perusahaan eksportir benih lobster harus menggunakan jasa PT ACK dengan tarif Rp 1.800 per benih.
Laporan KPK juga mencatat, berbagai perusahaan yang menjalin kerja sama dengan forwarder satu-satunya ini, lantas mentransfer uang kepada PT ACK dengan total Rp 9,8 miliar. KPK menduga kuat uang tersebut merupakan bahan untuk menyuap Menteri Kelautan dan Perikanan. Berdasarkan temuan KPK, Edhy menerima Rp 3,4 miliar dari PT ACK beserta USD 100 ribu atau setara Rp 1,41 miliar dari Suharjito. Total suap yang dia terima yakni Rp 4,8 miliar.
Kiara: Selidiki Sembilan Perusahaan yang Kantongi Izin Ekspor Benih Lobster
Menanggapi hal ini, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati, mendesak KPK menyelidiki sembilan perusahaan lain yang mengantongi izin.
“Setidaknya sembilan perusahaan ini telah melakukan ekspor benih lobster per Juli 2020, yaitu CV Setia Widara, UD Samudera Jaya, CV Nusantara Berseri, PT Aquatic SSLautan Rejeki, PT Royal Samudera Nusantara, PT Indotama Putra Wahana, PT Tania Asia Marina, PT Indotama Putra Wahana, dan PT Nusa Tenggara budidaya,” jelas Susan, di Jakarta, Kamis (26/11/2020).
Susan mempertanyakan, jika PT Dua Putra Perkasa Pratama telah terbukti memberikan suap kepada Edhy Prabowo sebanyak USD 100 ribu atau setara Rp 1,41 miliar, maka bagaimana dengan sembilan perusahaan lain yang juga telah melakukan ekspor benih lobster?
“Apakah mereka tidak melakukan hal yang sama? Jika kesembilan perusahaan praktik gratifikasi dengan nominal yang sama kepada Edhy, maka setidaknya Edhy telah menerima uang lebih dari 10 miliar,” sambung Susan.
Bagi Susan, mekanisme pemberian izin ekspor bagi sembilan perusahaan ini, wajib untuk KPK selidiki. Susan mengimbau KPK untuk tidak berhenti menggali kasus ini. Dia mereken, perlu pengembangan dan penyelidikan lebih lanjut supaya kasus ini terang benderang dan publik memahami betul duduk perkaranya.
Bukti Kebijakan yang Menguntungkan Segelintir Pihak
Susan mengatakan penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan menunjukkan ada banyak yang tidak beres di tubuh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), khususnya terkait dengan kebijakan ekspor benih bening lobster. Susan merinci empat hal penting yang harus menjadi perhatian dalam kebijakan ekspor benih lobster.
Empat Hal yang Menjadi Sorotan Kiara
1. Nihilnya Kajian Ilmiah dan Pelibatan Nelayan dalam Ekspor Benih Lobster
Tidak adanya kajian ilmiah yang melibatkan Komisi Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan) dalam penerbitan Peraturan Menteri KP No. 12 Tahun 2020 tentang pengelolaan lobster, kepiting, dan rajungan. Bahkan pembahasannya cenderung tertutup serta tidak melibatkan nelayan penangkap dan pembudidaya lobster.
2. Ombudsman Menilai Ekspor Benih Lobster Bertentangan dengan Konstitusi
Penetapan ekspor benih lobster sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri KP No. 12 Tahun 2020 diikuti oleh penetapan puluhan perusahaan eksportir benih lobster. Perusahaan ini terafiliasi dengan sejumlah partai politik. Di lain sisi, penetapan praktik ini hanya menempatkan nelayan penangkap dan pembudidaya lobster sebagai objek pelengkap semata. Ombudsman Republik Indonesia (ORI) bahkan menyebut terdapat banyak potensi kecurangan dalam mekanisme ekspor benih lobster tersebut. Bahkan, ORI menilai izin ekspor benih lobster itu bertentangan dengan konstitusi Republik Indonesia.
3. KPPU Temukan Praktik Persaingan Usaha yang Tidak Sehat
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Republik Indonesia telah menemukan praktik persaingan usaha yang tidak sehat dalam bisnis ekspor benih lobster di Indonesia. Salah satu temuan penting KPPU adalah pintu ekspor dari Indonesia ke luar negeri hanya melalui Bandara Soekarno Hatta. Padahal mayoritas pelaku lobster berasal dari Nusa Tenggara Barat dan Sumatra. Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu no. 37 tahun 2020 tentang Tempat Pengeluaran Khusus Benih Bening Lobster (BBL) dari Wilayah Negara RI telah menetapkan enam bandara yang direkomendasikan untuk pengiriman ke luar negeri. Enam bandara tersebut yakni Bandara Soekarno-Hatta, Bandara I Gusti Ngurah Rai Denpasar, Bandara Juanda Surabaya, Bandara Internasional Lombok, Bandara Kualanamu Medan dan Bandara Hasanuddin Makassar.
“Temuan KPPU membuktikan kerusakan tata kelola lobster di level hilir. Ada pihak yang hendak mencari keuntungan dengan sengaja melakukan konsentrasi pengiriman benih lobster ke luar negeri hanya melalui Bandara Soekarno Hatta. Ini jelas by design dan melibatkan pemain besar,” ungkap Susan.
4. Nihilnya Peta Jalan dalam Membangun Ekonomi Perikanan
KKP tidak memiliki peta jalan yang menyeluruh dan komprehensif dalam membangun kekuatan ekonomi perikanan (lobster) berbasis nelayan di Indonesia dalam jangka panjang. Sebaliknya, KKP selalu mengedepankan pertimbangan ekonomi jangka pendek yang tidak menguntungkan negara dan nelayan.
‘Ujung-ujungnya yang Dikorbankan adalah Sumber Daya Alam Indonesia’
Sementara itu, diwawancarai pada kesempatan berbeda, Nur Hidayati selaku Direktur Esksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengingatkan kembali kepada Presiden Jokowi bahwa kasus operasi tangkap tangan Edhy menjadi bukti kebijakan yang dibuat secara brutal dan ugal-ugalan sarat kepentingan untuk kelompok tertentu, terutama para oligarki.
“Ternyata terbukti bahwa Edhy Prabowo punya kepentingan dan tertangkap tangan oleh KPK. Edhy bisa terindikasi menjadi bagian dari oligarki yang selama ini meraup keuntungan besar dari ekspor benur tersebut. Ujung-ujungnya yang dikorbankan adalah sumber daya alam di Indonesia. Rantai penguasaan para oligarki sudah masuk sampai ke internal kementerian, bahkan bisa menjerat seorang Menteri. Tidak menutup kemungkinan akan muncul jeratan ke menteri-menteri lainnya,” ujar Nur Hidayati.
Baca juga: Survei Pilkada 2020: Cuma Sepuluh Persen Anak Muda Menilai Topik Lingkungan Penting
KKP Hentikan Penerbitan Izin Ekspor Benih Lobster
Setelah terkuaknya kasus korupsi pada ekspor benih lobster ini, KKP menghentikan sementara penerbitan Surat Penetapan Waktu Pengeluaran (SPWP) ekspor Benih Bening Lobster (BBL), Kamis (26/11). KKP belum menentukan sampai kapan penghentian sementara ini berlaku.
Keputusan penghentian sementara penerbitan SPWP berdasarkan Surat Edaran Nomor B. 22891/DJPT/PI.130/XI/2020 yang ditandatangani Plt. Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini hari ini.
Dalam surat edaran itu, KKP menjelaskan alasan penghentian SPWP yakni guna memperbaiki tata kelola pengelolaan BBL sebagaimana terlampir dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 12 tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
Penulis: Dewi Purningsih