Jakarta (Greeners) – Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo telah menandatangani draft Undang-undang Cipta Kerja (UUCK). Di sisi lain, tak sedikit kalangan yang menolak UU ”sapu jagat” tersebut. Salah satunya, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika. Dia menegaskan pihaknya menolak secara utuh UUCK. Menurutnya, regulasi tersebut memberi keistimewaan pada para pemilik modal. Masyarakat kecil dan terpinggirkan, khususnya yang berada di pedesaan seperti petani dan masyarakat adat, semakin terancam.
Menurut Dewi, UUCK membuat tanah menjadi barang komoditas yang dapat menjadi objek transaksi. Para pemilik modal berkesempatan memiliki tanah beserta kekayaan di dalamnya. Di lain sisi, masyarakat kecil semakin kesulitan. Sebab, tidak hanya kondisi ekonomi yang tidak mendukung, tapi akses mereka yang akan semakin sulit.
“Secara keseluruhan (UUCK) ini bukan masalah klaster per klaster. Apalagi dipersempit jadi ketenagakerjaan. Politik agraria juga jadi lebih kapitalistik dan liberal. Para pemilik modal diberi keistimewaan oleh UU ini. Meski banyak UU negara yang mendaftarkan reforma agraria bagi petani, kita pastikan UUCK lebih cepat bekerja dibanding UU yang ada saat ini,” ujar Dewi dalam diskusi media bertema Masa Depan Petani dan Agenda Reforma. Agraria Pasca Omnibus Law, Sabtu (7/11/2020).
Aktivis: UU Cipta Kerja Geser Paradigma Agraria dengan Norma Baru
Dewi menilai UUCK sudah cacat sejak dari konsep maupun naskah akademik. Kalangan akademisi, lanjut dia, mempertanyakan sifat Omnibus Law dalam UUCK. Pasalnya, UU tersebut tidak memperbaiki, mengubah, atau menghapus undang-undang yang ada. Justru, UU tersebut menciptakan norma baru berdasarkan Rancangan Undang-undang (RUU) yang bahkan masih menjadi polemik.
Dia mencontohkan pencantuman RUU Pertanahan dalam UUCK yang menjadikan tanah sebagai komoditas. Pemerintah menangguhkan RUU Pertanahan sejak sepuluh tahun lalu. UU ini justru bertentangan dengan referensi utama yaitu Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. UU Pokok Agraria ini memosisikan fungsi sosial tanah, serta merupakan rencana nasional pembangunan pedesaan berbasis reforma agraria. Hanya saja, pada kenyataannya, UUCK memuat substansi regulasi yang belum sah, berpolemik, dan dapat mempersulit masyarakat.
“Substansi RUU Pertanahan itu dinilai sudah bertentangan dengan konstitusi. Secara khusus, UU ini juga menggeser paradigma hukum agraria nasional. Sebenarnya kita sudah punya referensi utama, yaitu UU Pokok Agraria tahun 1960. Pada 2019 fraksi PKB, Gerindra, dan PDIP di DPR sepakat RUU Pertanahan sangat liberal. Anehnya, pada 2020 ketika RUU Cipta Kerja diserahkan oleh pemerintah kepada DPR, ternyata substansi RUU Pertanahan masuk juga ke UUCK,” jelasnya.
Aktivis: UU Cipta Kerja Akan Pinggirkan Masyarakat Desa
Dewi menyebut salah satu norma baru UUCK, yakni terkait objek tanah dalam pembangunan infrastruktur. UUCK mengakibatkan definisi pengadaan tanah untuk kepentingan umum semakin luas. Ketentuan ini akan memudahkan proyek strategis nasional, kawasan ekonomi khusus, dan kebutuhan tanah bagi pemilik modal dan investasi. Menurut Dewi, norma ini akan berpengaruh pada pemerintah yang akan membebaskan secara paksa tanah pertanian produktif dan kampung. Dewi meramalkan, pemerintah hanya akan memberi ganti rugi kecil kepada warga yang terdampak.
Lebih jauh, Dewi memprediksi implementasi UUCK akan memperbesar lima masalah utama reforma agraria. Lima pokok krisis agraria itu meliputi ketimpangan struktur agraria yang tajam; maraknya konflik agraria struktural; kerusakan ekologis; laju cepat alih fungsi tanah pertanian ke non-pertanian; dan kemiskinan akibat struktur agraria yang menindas.
“Kita bisa bayangkan UU Cipta Kerja mengukuhkan semakin timpang penguasaan tanah. Tidak hanya tanah dan kekayaan alam di dalamnya untuk dieksploitasi, tapi juga menimbulkan konflik agraria,” tegasnya.
Baca juga: Aktivis Pantau Pengaruh UU Cipta Kerja terhadap Komitmen Iklim Indonesia
Bank Tanah, Bentuk Monopoli Tanah Ala Penjajah
Bahaya lain dari UUCK, lanjut Dewi, adalah adanya pembentukan lembaga baru yaitu Bank Tanah. Lembaga tersebut juga sempat ada dalam RUU Pertanahan dan berganti nama menjadi Lembaga Pengelolaan Tanah. Pihaknya menolak keras Bank Tanah mengingat cara kerjanya mirip lembaga spekulan tanah. Hanya saja, spekulan ini mengatasnamakan negara sebagai lembaga non profit. Pada praktiknya, kekayaan Bank Tanah tidak hanya bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), tapi juga pendapatan sendiri. Pihak ketiga dapat terlibat dengan memberi pinjaman, penyertaan modal, bahkan bentuk-bentuk kerja sama lain.
“Organisasi non-profit bisa bergeser jadi orientasi bisnis semata. Sebab tidak murni dibiayai APBN, tapi dia bisa menggunakan sumber dana lain,” katanya.
Selain itu, menurut Dewi Bank Tanah tidak hanya berhenti dalam tahapan mencatat atau mengumpulkan dan meregistrasi tanah negara dalam bentuk hak pengelolaan tanah. Setelah mengumpulkan tanah miliki negara, Bank Tanah akan menerbitkan berbagai macam hak. Mulai dari hak guna usaha, hak guna bangunan bagi investasi, dan jenis hak pakai.
Dia menyebut adanya Bank Tanah tidak efektif mengingat cara kerjanya sama dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Di sisi lain, Bank Tanah juga akan menertibkan tanah masyarakat yang belum terdaftar dalam sistem pendaftaran tanah sebagai tanah negara. Dewi menyamakan cara kerja tersebut seperti pada saat zaman penjajahan Belanda. Bank Tanah akan melegitimasi dan mengatur sebagian besar tanah sesuai UUCK.
“Pada zaman Belanda, barang siapa yang tidak bisa membuktikan kepemilikan tanahnya, maka hak tanah tersebut akan otomatis menjadi tanah negara. Ini memperkuat monopili tanah oleh negara dan pemilik modal. Sistemnya dibikin sedemikan rupa dan transparansi bukan jadi prinsip yang ditegakan,” pungkasnya.
Penulis: Muhammad Ma’rup
Editor: Ixora Devi