Jakarta (Greeners) – Koalisi masyarakat sipil mendesak Bank Pembangunan Asia (ADB) untuk berhenti mendanai proyek-proyek solusi palsu yang memperparah krisis iklim. Klaim ADB sebagai bank dengan komitmen kuat terhadap aksi iklim tampak kontradiktif. Sebab, terdapat dampak negatif yang timbul dari sejumlah proyek ADB.
Belum lama ini, ADB mendeklarasikan diri sebagai Bank Iklim bagi Asia dan Pasifik berdasarkan klaim keberhasilan pada proyek-proyek adaptasi dan mitigasi iklim di berbagai negara.
Faktanya, masyarakat adat dan lokal, kelompok perempuan, komunitas lokal, masyarakat adat, dan organisasi masyarakat sipil telah menunjukkan bukti lain. Itu terkait dampak buruk yang timbul dari proyek-proyek ADB.
BACA JUGA: Pulihkan Bumi, KLHK Tanam Pohon Serentak di Seluruh Indonesia
Kerugian yang telah terjadi mencakup dampak lingkungan dan iklim, hilangnya mata pencaharian, dan terkikisnya nilai-nilai sosial budaya. Kebijakan perlindungan (safeguard) ADB gagal mencegah dampak ini tanpa benar-benar mengatasi keluhan masyarakat yang terkena dampak.
Masyarakat Sipil Desak ADB
Asian Development Bank (ADB) baru saja menggelar Pertemuan Tahunan ke-57 di Tbilisi, Georgia pada 2-5 Mei 2024. Sekitar 4.000 peserta hadir dari berbagai unsur seperti pimpinan ADB, mulai dari delegasi negara anggota ADB hingga perwakilan organisasi masyarakat sipil dari berbagai negara.
Representasi masyarakat sipil dari berbagai negara, terutama Asia dan Pasifik hadir untuk mendesak ADB. Mereka meminta ADB memperkuat kebijakan perlindungan (safeguard policy). Selain itu, menghentikan pendanaan proyek-proyek skala besar yang menimbulkan kerusakan lingkungan, memperburuk krisis iklim, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Solidaritas Perempuan, dan Aksi! for Gender, Social and Ecological Justice menilai pertemuan tahunan ADB 2024 sama sekali tidak memperlihatkan komitmen pada perlindungan. Terutama, bagi perlindungan lingkungan, hak asasi manusia, serta hak asasi perempuan.
BACA JUGA: COP28, Norwegia Bayar US$100 Juta untuk Tangani Krisis Iklim Indonesia
“Hal ini terbukti dari gelontoran uang yang masih akan terus diberikan untuk proyek-proyek solusi iklim palsu, yaitu proyek yang mendahulukan investasi untuk energi dan transportasi yang tidak berkelanjutan secara lingkungan dan sosial. Itu justru menimbulkan ketidakadilan iklim dan ketidakadilan gender,” ujar Juru Kampanye Polusi dan Perkotaan Walhi, Abdul Ghofar lewat keterangan tertulisnya, Kamis (9/5).
Sejumlah proyek tersebut seperti proyek geothermal di Indonesia, ETM (energy transition mechanism) untuk Indonesia, Filipina, Pakistan, dan di berbagai negara berkembang lainnya. Proyek ini telah memperlihatkan kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia, bahkan memperbesar lepasan emisi gas rumah kaca.
Kegagalan Proyek Geothermal Terlihat
Sementara itu, kegagalan proyek geothermal di Indonesia pun sudah terlihat nyata. Di antaranya di Geothermal/PLTP Muara Laboh di Sumatera Barat, PLTP Ulumbu Poco Leok di Nusa Tenggara Timur, dan PLTP lainnya. Proyek tersebut telah berdampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat. Seperti pengambil alihan lahan secara paksa, perusakan sungai yang menyebabkan gagal panen, dan ancaman kesehatan dari gas.
Bagi perempuan, kehadiran proyek geothermal berdampak berbeda karena peran gendernya. Kehancuran sumber penghidupannya dapat meningkatkan beban perempuan dan gangguan kesehatan reproduksi.
“Bahkan, pendekatan militeristik yang dilakukan negara berdampak pada trauma dan gangguan mental dalam jangka panjang bagi perempuan dan anak-anak,” tambah Ghofar.
ADB Memperlemah Aturan Perlindungan
Safeguard ADB belum berjalan secara maksimal. Namun, saat ini ADB justru memperlemah aturan perlindungan (safeguard) baru atau Environmental and Social Framework (ESF) 2024. ADB mengklaim sebagai bank yang mempromosikan perlindungan lingkungan dan hak asasi manusia, termasuk perlindungan hak perempuan. Namun, draft ESF ini justru tidak sejalan dengan komitmen tersebut.
“Lemahnya ESF menguntungkan korporasi dan justru akan memperluas kerusakan lingkungan, memperparah krisis iklim, perampasan lahan, penggusuran, dan memperkuat ketidakadilan gender. Draft ESF tidak mengakomodasi tuntutan masyarakat sipil. Khususnya, soal penguatan aturan perlindungan yang mampu melindungi lingkungan dan masyarakat dari proyek ADB,” imbuh Ghofar.
Koalisi masyarakat sipil mendesak ADB merevisi draft ESF dengan substansi yang memperkuat perlindungan lingkungan hidup sejalan dengan konvensi internasional. Substansi juga harus menjunjung tinggi hak asasi manusia dan mengakui hak masyarakat untuk menolak proyek ADB.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia