Aceh ( Greeners) – Banjir bandang yang terjadi pada tahun 2006 di Kabupaten Aceh Tamiang menjadi pelajaran yang sangat berharga, khususnya bagi masyarakat Kecamatan Tenggulun, Tamiang Hulu, Bandar Pusaka dan Sekra. Pasalnya, akibat musibah tersebut, lebih dari 200 ribu kepala keluarga mengungsi dan sebagian besar kehilangan mata pencaharian.
Penasihat Forum Konservasi Leuser (FKL), Rudi Putra, menuturkan, setelah dilakukan identifikasi dan investigasi secara mendalam sejak bencana besar tersebut terjadi, ditemukan bahwa perambahan kawasan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit oleh beberapa pengusaha menjadi penyebab utamanya.
“Setelah ditelusuri, ternyata perambahan hutan sudah terjadi sejak setelah reformasi, sekitar 1998 atau 1999,” terang Rudi saat menerima kunjungan wartawan di kantor Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh Tamiang, Aceh, Kamis (30/10).
Oleh karena permasalahan tersebut, FKL bersama dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh Tamiang mengajak masyarakat lokal untuk bersama-sama melakukan restorasi atau upaya untuk mengembalikan wilayah hutan yang dimasuki oleh perkebunan sawit ilegal agar kembali menjadi kawasan hutan lindung sebagaimana mestinya.
“Restorasi ini sendiri mendapat dukungan dari Bupati Aceh Tamiang yang telah melakukan seremonial penebangan bersama FKL dan beberapa organisasi masyarakat lainnya pada pada tanggal 29 September lalu,” ungkap Rudi.
Rudi juga mengatakankan awal dilakukannya restorasi tersebut mencapai total hingga 800 hektar di dua kecamatan, Tamiang Hulu dan Bandar Pusaka, pada tahun 2009 lalu bersama dengan Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BP KEL).
Namun, karena perbedaan pendapat antara pemerintah Provinsi Aceh, maka BP KEL pun dibubarkan pada tahun 2012. Setahun setelah kejadian itu, tepatnya di akhir tahun 2013, seluruh anggota BP KEL membentuk FKL guna menyelamatkan seluruh Kawasan Ekosistem Leuser di 13 kabupaten di Aceh.
Koordinator Wilayah Hutan Alam Lingkungan Aceh (HAKA), Tezar Pahlevi, juga mengatakan, bahwa proses restorasi dilakukan dengan cara persuasif atau mengajak para pengusaha untuk duduk bersama dan meminta para pengusaha agar menyerahkan wilayah perkebunannya untuk direstorasi.
“Kami panggil baik-baik. Kami kasih tahu kalau perkebunan mereka itu ada di kawasan hutan lindung dan itu terlarang, jadi harus diserahkan pada pemerintah secara baik-baik,” tambahnya.
Tezar menjelaskan bahwa teknis restorasi dilakukan dengan cara menebang pohon-pohon sawit yang masuk dalam batas kawasan lindung. Penebangan dilakukan secara manual menggunakan dua buah gergaji mesin yang dilakukan oleh polisi hutan dan masyarakat lokal.
Senada dengan Rudi dan Tezar, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh Tamiang, Al fuadi, mengaku pihak pemerintah mendukung penuh proses restorasi ini. Menurut Alfuadi, untuk saat ini sudah dilakukan pembatasan antara kawasan lindung yang akan dilakukan restorasi dengan kawasan Areal Penggunaan Lain (APL) sejauh 10 kilometer.
Sebagai informasi, sejak tahun 2009 lalu, proses restorasi hutan sawit di Kabupaten Aceh Tamiang telah mencapai 800 hektar lahan oleh BP KEL. Sedangkan untuk kawasan hutan lindung yang telah menjadi perkebunan sekitar 1.071 hektar. Lalu, kawasan hutan lindung di Desa Tenggulung mencapai dua puluh ribu hektar dan sekitar 3000 hektar telah diserahkan oleh pengusaha secara baik-baik ke Pemerintah Aceh.
Kawasan hutan lindung Kabupaten Aceh Tamiang merupakan habitat beragam hewan, seperti gajah, harimau, burung kuau, kucing hutan, orang utan dan beruang.
“Karena perkebunan sawit ini, hewan-hewan kehilangan habitatnya dan mereka terusir dari habitatnya sendiri,” pungkas Fuadi.
(G09)