Jakarta (Greeners) – Pola dan gaya hidup serba instan memicu meningkatnya penggunaan plastik fleksibel Indonesia. Berdasarkan World Economic Forum – NPAP SYSTEMIQ 2020, sampah fleksibel mendominasi tiga per empat atau 76 % dari sampah plastik yang bocor ke lingkungan di Indonesia.
Plastik fleksibel merupakan bentuk kemasan yang bersifat fleksibel. Plastik ini dibentuk dari alumunium foil, film plastik, selopan, film plastik berlapis logam aluminium satu lapis atau lebih dengan tanpa bahan thermoplastic maupun bahan perekat.
Contoh plastik fleksibel yaitu plastik kemasan monolayer (satu lapis), plastik multi lapis (MLP) – plastik dan plastik, MLP – plastik dan logam serta MLP – plastik dan kertas.
Periset Independen Waste4Change Annisa Ratna mengatakan, kemasan plastik fleksibel sulit didaur ulang karena sifatnya yang ringan dan tipis. Selain itu, butuh biaya tinggi untuk mendaur ulang karena sulit memisahkan antar lapisan plastik.
Annisa menyebut, di satu sisi plastik fleksibel murah dan sangat bermanfaat untuk mencegah food waste. Akan tetapi, di sisi lain plastik jenis ini berjumlah sangat banyak, sulit terdaur ulang sehingga mencemari lingkungan.
Plastik Fleksibel Monolayer Mendominasi
Berdasarkan penelitian yang ia lakukan di di 10 lokasi TPS di 5 wilayah kotamadya DKI Jakarta, plastik jenis monolayer mendominasi plastik di Jakarta sebesar 48 %. Lalu MLP – plastik dan logam sebesar 33 %, MLP – plastik dan plastik sebesar 9 %, serta MLP – plastik dan kertas 0%.
Adapun jumlah sampah plastik total yang berasal dari sumber (rumah tangga) yaitu sebesar 3 % setara 279,63 ton per hari. Sementara berdasarkan hasil wawancara, jenis plastik fleksibel yang paling sering terdaur ulang yaitu jenis monolayer dan jenis MLP – plastik dan plastik.
“Itu artinya sampah jenis lainnya seperti MLP – plastik dan logam, dan jenis lainnya masih belum terdaur ulang secara maksimal,” ujar dia.
Ia menyebut, tantangan penanganan sampah plastik fleksibel yakni masih terbatasnya teknologi untuk mengatasi sampah jenis ini. Selain itu, pengumpulan sampah plastik fleksibel sulit terkendala pemilahan di sumber.
“Sampah rumah tangga, misalnya di Jakarta umumnya dikumpulkan dalam kondisi tercampur. Tidak adanya pemilahan sampah di sumber menyebabkan sulitnya pendataan kuantitas sampah jenis ini,” ungkapnya.
Terjadi Kecenderungan Peningkatan Timbulan Sampah Plastik
Sementara itu, Fungsional Pengendali Dampak Lingkungan Ahli Muda Direktorat Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Eka Hilda menyatakan, berdasarkan data KLHK tahun 2021, jumlah timbulan sampah plastik dan kertas yaitu 19,66 juta ton per tahun.
Selain itu, komposisi sampah nasional menunjukkan kecenderungan peningkatan timbulan sampah plastik dan kertas 17 % dan 13,1 %. “Ini menunjukkan selama 10 tahun terakhir ada peningkatan dari komposisi plastik yang cukup besar,” katanya.
Ia juga menyorot masih rendahnya proses daur ulang dalam negeri untuk sampah plastik ini. Baru sekitar 46 %, hal ini mengindikasikan masih banyak sampah plastik yang belum terdaur ulang.
Lebih jauh, Eka menekankan produsen menerapkan konsep ekonomi sirkular agar kemasan yang mereka hasilkan tak bocor ke lingkungan. Hal ini mengacu pada UU Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah. Selain itu juga Permen LHK Nomor 75 Tahun 2019 Tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah.
Marketing Siklus Refill Jessica Bella mengungkap, berdasarkan data World Bank tahun 2018, 25 % dari 165 ton sampah per hari di sungai di DKI Jakarta merupakan sampah plastik.
Ia menekankan pentingnya sustainable packaging. Mengganti kemasan plastik sekali pakai di masyarakat. Beberapa ciri-ciri dari sustainable packaging yakni bahan 100 % menggunakan bahan daur ulang. Baik proses produksi hingga distribusi minimalisir emisi karbon.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin