Jakarta (Greeners) – Polemik jual beli pakaian bekas terus memasuki babak baru. Larangan menguat, bahkan pemerintah memusnahkan 730 bal pakaian bekas senilai hampir Rp 10 miliar.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memusnahkan ratusan bal pakaian bekas itu di Terminal Tipe A Bandar Raya Payung Sekaki di Pekanbaru, Riau, Jumat (17/3).
Pemusnahan ini sekaligus menindaklanjuti arahan Presiden Jokowi yang menyebut bahwa industri ini merusak pasar lokal industri dalam negeri.
Founder Nol Sampah Hermawan Some menilai, pembakaran barang tekstil merupakan tindakan yang tak benar. Terlebih jika dalam skala masif.
“Ini bukan solusi tepat dan justru menghasilkan masalah baru. Selain menghasilkan gas rumah kaca juga menghasilkan bahan kimia yang berbahaya,” katanya kepada Greeners, Sabtu (18/3).
Barang-barang bekas impor, termasuk pakaian tak hanya mengandung bahan alami seperti kapas, tapi bukan tidak mungkin ada kain dari polister.
“Merek baju juga biasanya ada yang dari plastik jenis PVC atau vinil. Bila kita bakar bisa menghasilkan dioksin atau furan yang bersifat karsinogenik,” ucapnya.
Menurut Badan Pusat Statistik tahun 2019, volume baju bekas yang masuk ke Indonesia mencapai 392 ton. Bahkan, pakaian bekas ini justru menambah besar potensi sampah tekstil. Adapun saat ini terdapat 2.633 ton sampah tekstil per tahun di Indonesia.
Pakaian Bekas Sama Halnya ‘Sampah’
Senada dengan itu, Pengamat persampahan dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Enri Damanhuri menyatakan, selama ini barang-barang bekas termasuk baju bekas dari negara eksportir sama halnya ‘sampah’.
“Ini sama halnya dengan limbah elektronik dan sampah campur dari plastik dan kertas yang perlu kita olah. Lebih baik negara lain angkut ke Indonesia karena jauh lebih murah,” imbuhnya.
Menanggapi terkait pembakaran barang-barang impor ilegal tersebut, termasuk pakaian, Enri menyebut hal itu memicu pencemaran udara.
“Yang menjadi permasalahan bila bahannya sintetis sejenis fuel seperti bensin dan kita bakar secara masif,” ujarnya.
Ia menyebut, pengelolaan sampah tekstil belum menjadi perhatian pemerintah secara serius. Saat ini sampah tekstil hanya berakhir di tempat-tempat berdonasi pakaian. “Tanpa kita tahu sebenarnya muaranya ke mana, atau justru berakhir menjadi sampah lagi,” tuturnya.
Industri Fesyen Harus Kelola Pakaian Bekasnya
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya Beracun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rosa Vivien Ratnawati mengatakan, industri fesyen dalam negeri sudah mulai memikirkan pengelolaan sampah pakaian bekas.
“Beberapa vendor gerai pakaian jadi seperti H&M dan Uniqlo sudah mulai program untuk menarik kembali pakaian bekas untuk diolah menjadi serat kain dan dimanfaatkan untuk tekstil daur ulang,” katanya.
Selain itu, tumbuhnya socio-eco-preuner hendaknya menjadi peluang dalam pengelolaan daur ulang tekstil bekas ini.
Misalnya, Pable Indonesia yang mendaur ulang sampah tekstil menjadi benang dan kain untuk dibuat baju, taplak meja dan barang lain berbahan tekstil daur ulang.
Kemudian dan Eco Touch Indonesia yang juga mendaur ulang bahan denim (jeans) untuk dibuat sebagai bahan peredam (insulation).
Penulis: Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin