Jakarta (Greeners) – Kondisi lahan pertanian yang sehat sangat menentukan peningkatan produktivitas hasil panen. Namun pemakaian pupuk kimia berlebih atau berbagai aktivitas alih fungsi bisa merusak tanah. Bahkan 72 % tanah pertanian di Indonesia kondisinya kekurangan unsur organik.
Pengamat pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mengatakan, degradasi tanah, terutama di tengah perubahan iklim akan berdampak signifikan pada kepunahan tanaman.
Imbasnya, akan memicu ancaman ketahanan pangan. “Ini yang dikhawatirkan bila degradasi tanah dibiarkan terus menerus maka tinggal menunggu bom waktu akan berimbas ke rantai pangan kita,” katanya kepada Greeners, Sabtu (19/11).
Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), saat ini tanah yang telah terdegradasi yakni sebesar 52 %. Sementara, lanjutnya makanan yang manusia butuhkan paling banyak berasal dari tanah.
“Jadi 95 % dari tanah karena tanah merupakan dasar dari ekosistem darat,” ucapnya.
Tak hanya perubahan iklim, ancaman lain yang tak boleh dibaikan yakni pemakaian pupuk kimia yang masih tinggi. “Bahkan 72 % tanah pertanian di Indonesia saat ini kondisinya tak baik karena kekurangan bahan organik,” imbuhnya.
Perlindungan Kehati di G20
Sebelumnya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 Bali yang melahirkan Leaders Declaration. Salah satu poinnya menyepakati perlindungan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Komitmen ini menargetkan mencegah kehilangan kehati dan mengurangi degradasi lahan sebesar 50 % pada tahun 2040.
Negara-negara G20 juga sepakat mendorong agar semua negara memfinalisasi dan mengadopsi Global Biodiversity Framework (GBF) sesuai visi pada 2050, yaitu Living Harmony with Nature.
Tujuannya, menghentikan dan mengembalikan keanekaragaman hayati pada tahun 2030. Caranya, dengan memerangi hilangnya keanekaragaman hayati (kehati), penggundulan hutan, penggurunan, degradasi lahan dan kekeringan. Memulihkan lahan terdegradasi untuk mencapai netralitas degradasi pada tahun 2030.
Sejumlah negara di dunia yang telah meratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati akan mempersiapkan Post-2020 GBF dalam Konferensi Para Pihak (COP15) di Montreal, Kanada pada Desember 2022 nanti. Salah satu aspek krusial yakni mencapai target penyelamatan keanekaragaman hayati global pasca-2020 yakni masalah keuangan dan keanekaragaman hayati.
Tak hanya itu, komitmen perlindungan ekosistem juga terwujud dalam kesepakatan mengurangi dampak lingkungan melalui perubahan pola produksi dan konsumsi yang tidak berkelanjutan.
Pertimbangkan Aspek Ekologis Lahan Pertanian
Senada dengan Dwi, peneliti dari Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Hayati (OR IPH) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Amir Hamidy menyatakan, adanya keterkaitan antara degradasi tanah dengan keberlanjutan keanekaragaman hayati di dalamnya.
Ia juga menyorot soal masifnya perubahan atau alih fungsi hutan misalnya lahan pertanian dan lahan tambang hingga menyebabkan keanekaragaman hayati semakin cepat lenyap.
“Ini harus menjadi perhatian. Jangan sampai hilangnya hutan mengakibatkan kita kehilangan spesies-spesies yang belum kita ketahui, belum kita kenal,” kata dia.
Penambahan jenis spesies baru terus menerus terjadi di alam sehingga butuh kecepatan dalam mengidentifikasi. “Selain itu tentu pembangunan yang manusia lakukan harus mempertimbangkan aspek ekologis dan keberlanjutan,” pungkas dia.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin