Jakarta (Greeners) – Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebut telah terjadi hampir 70 kali kejadian ekstrem dalam kurun waktu dua hingga tiga tahun belakangan. Hal ini imbas perubahan iklim yang mengakibatkan peningkatan kejadian cuaca dan iklim ekstrem.
Plt. Deputi Bidang Klimatologi BMKG Urip Haryoko menyatakan, beberapa kejadian ekstrem yang terjadi yaitu angin kencang (kecepatan lebih dari 25 knot). Selain itu juga curah hujan ekstrem dengan curah hujan lebih dari 150 mm per hari, serta suhu maksimum dan minimum.
“Fenomena kejadian cuaca ekstrem dalam satu hari bisa terjadi setidaknya di 10 tempat berbeda dengan sebaran kejadian cuaca ekstrem hampir merata di seluruh Indonesia,” katanya kepada Greeners, Jumat (26/8).
Ia melanjutnya, pemicu utama kejadian cuaca dan iklim ekstrem yaitu gangguan iklim skala global seperti La Nina yang masih kita rasakan hingga sekarang.
“Fenomena La Nina yang terjadi selama tiga tahun berturut-turut ini menjadi salah satu pemicu utama kejadian ekstrem. Sebelumnya pernah terjadi pada tahun 1973 hingga 1975 dan tahun 1998 hingga 2001,” tuturnya.
Selain itu, pemicu lainnya yaitu gangguan dari fenomena IOD negatif, yang berimbas pada peningkatan curah hujan, utamanya di wilayah Indonesia bagian barat dan tengah.
Faktor lainnya yaitu kombinasi dua atau tiga kejadian atau superposisi antara fenomena MJO (gelombang atmosfer equator), dengan cold surge dan fenomena monsun.
“Pemicu lainnya yaitu satu fenomena seperti siklon tropis Seroja terjadi pada 3 hingga 12 April 2022 di NTT. Hal ini berdampak pada gelombang tinggi, angin kencang, hujan ekstrem yang bisa mencapai tiga kali lipat dari batasan ekstrem. Bahkan curah hujan mencapai 300 hingga 400 mm dalam satu hari,” paparnya.
BMKG Tingkatkan Kapasitas Prakiraan Cuaca dan Iklim
Sebelumnya, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengungkapkan pentingnya jejaring bersama para pemangku kepentingan hingga pakar. Tujuannya untuk memperkuat sinergi data dalam menghadapi cuaca ekstrem. Fenomena perubahan iklim berimbas pada kondisi ekstrem sehingga mengakibatkan lompatan kejadian ekstrem.
Setidaknya, telah terjadi 70 kali kejadian ekstrem dalam kurun waktu dua hingga tiga tahun lalu akibat perubahan iklim.
Dwikorita menyebut, BMKG perlu meningkatkan kapasitas, baik daya analitik, big data, peralatan mendeteksi secara dini fenomena alam dan memproyeksikannya ke depan.
Pakar lingkungan dari Universitas Indonesia Mahawan Karuniasa menyatakan hal senada. Menurutnya, banyaknya kejadian ekstrem seiring dengan dampak buruk pemanasan global. Hal ini memicu meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi, di antaranya banjir, tanah longsor, hingga puting beliung.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga mencatat tren kenaikan bencana hidrometeorologi. Setidaknya dalam lima tahun terakhir, hampir 95 % kejadian bencana ini mendominasi di Indonesia.
Ia menegaskan, pemerintah Indonesia sudah saatnya melakukan adaptasi dan mitigasi bencana lebih dini untuk mengantisipasi cuaca ekstrem. Demikian pula dengan sosialisasi bencana. “Masyarakat terutama yang dekat dengan lokasi bencana harus dipastikan merespon secepat mungkin, karena bencana terus meningkat,” imbuhnya.
Selain itu, Mahawan juga menyorot tingginya bencana hidrometeorologi. Seperti banjir karena banyaknya kondisi kawasan daerah aliran sungai (DAS) yang rusak akibat alih fungsi lahan.
“Selain faktor anomali akibat perubahan iklim, kondisi ini diperparah dengan alih fungsi lahan yang semakin marak dilakukan,” tandasnya.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin