Jakarta (Greeners) – Pada penutupan Indonesian Petroleum Association (IPA) ke-42, Jumat (04/05/2018), tujuh kontrak Perjanjian Jual Beli Gas Bumi (PJBG) ditandatangani. Kontrak ini berpotensi menambah penerimaan negara sebesar Rp 1,49 triliun atau setara dengan US$ 111,08 juta.
Kepala Divisi Komersialisasi Minyak dan Gas Bumi SKK Migas Waras Budi Santosa menyatakan bahwa dengan adanya penandatangan ini, maka kebutuhan gas bumi terhadap industri pupuk, operasional kilang minyak, kelistrikan, dan jaringan gas bumi untuk industri dapat dipenuhi 2 hingga 10 tahun ke depan.
Selain itu, untuk mempermudah investor berinvestasi di Indonesia, telah dilakukan deregulasi di sektor hulu migas. Di bidang perizinan, dari 373 izin yang ada di sektor hulu migas, pemerintah telah memangkas 186 izin. Produsen gas juga telah diberikan kemudahan untuk menjual gasnya ke pengguna akhir.
“Tidak lagi point to point, tapi sekarang multi destination. Jadi, satu PJBG tidak hanya untuk satu pabrik atau industri, melainkan bisa dipakai untuk empat pabrik di wilayah tersebut. Dengan deregulasi, diharapkan proses pembukaan lapangan dari perencanaan hingga on stream hanya membutuhkan waktu lima tahun, lebih cepat dari rata-rata delapan tahun,” kata Waras saat diskusi bertema Improving Indonesia’s Gas Business from Upstream to Downstream dalam acara Eksebisi dan Konvensi IPA ke-42, Jakarta, Jumat (04/05/2018).
BACA JUGA: Jokowi Pangkas 186 Regulasi Sektor Minyak dan Gas Bumi
Menurut Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, industri migas merupakan penggerak efek berganda dalam perekonomian Indonesia. Efek ini bisa tambah besar apabila pemerintah mau mengurangi pembagian keuntungan negara dari industri migas, dan mengalihkannya untuk subsidi industri.
“Migas sebaiknya bukan menjadi sumber devisa tetapi menjadi energi perekonomian Indonesia. Caranya dengan mengurangi bagi hasil untuk pemerintah agar berdampak pada pertumbuhan industri,” katanya.
Sementara itu, Achmad Safiun, Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi, mengatakan, tingginya harga jual gas di dalam negeri membuat industri nasional kurang bersaing dengan industri di luar negeri. Padahal harga di negara lain justru cenderung mengalami penurunan.
“Di luar negeri, harga gas bisa turun hingga 60 persen dalam beberapa tahun terakhir. Sedangkan di Indonesia sampai sekarang tidak mengalami penurunan,” ujar Safiun.
BACA JUGA: IPA Ke-42, Jokowi Soroti Minimnya Perkembangan Sektor Migas
Akibat tingginya harga gas, industri tidak dapat menekan biaya produksi. Ini berdampak pada rendahnya minat investor menanamkan modalnya di Indonesia. Pada akhirnya kondisi ini membuat kontribusi industri nasional juga turun dan menyebabkan berkurangnya tingkat penyerapan tenaga kerja.
Tingginya harga gas bumi di dalam negeri juga diakui oleh Direktur Utama PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk. Jobi Triananda Hasjim. Panjangnya mata rantai penjualan gas, menurutnya, menjadi penyebab utama mahalnya harga gas domestik. Salah satu upaya yang dilakukan untuk menanggulangi masalah ini dengan cara memperbaiki infrastruktur jaringan gas, sehingga mempersingkat distribusi gas hulu ke pengguna akhir.
“Kadang-kadang, jarak antara industri sebagai pengguna akhir dan suplainya jauh. Ini yang menyebabkan biaya energi menjadi lebih mahal. Seandainya kita bisa membawa industri lebih dekat ke upstream, maka biayanya akan lebih murah,” katanya.
Di tataran korporasi, Jobi melanjutkan, untuk memperbaiki tata kelola migas pemerintah membentuk perusahaan induk (holding), khususnya di sektor gas. Bergabungnya Pertagas ke dalam PGN diharapkan dapat meningkatkan kapasitas distribusi dan kemampuan bisnis industri gas nasional. “Pada akhirnya, gas diharapkan bisa dinikmati lebih banyak orang,” katanya.
Penulis: Dewi Purningsih