60 Tahun Hari Tani: Momentum Gerakan Rakyat untuk Lingkungan

Reading time: 3 menit
Petani
Teknologi dukung capaian produktivitas hasil panen. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Hari Tani yang diperingati tiap tanggal 24 September, tahun ini genap 60 tahun. Terbitnya Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA) melatarbelakangi lahirnya hari perjuangan kaum tani tersebut. Namun, jaminan bagi hak ulayat petani, buruh, dan masyarakat adat hingga kini masih belum terpenuhi. Krisis agraria yang berdampak terhadap krisis ekologi juga dinilai semakin parah.

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menilai, keadilan ruang bagi masyarakat perdesaan maupun perkotaan belum tercapai. Menurutnya, ekspansi ke dalam ruang hidup dan nelayan menyebabkan hilangnya hak masyarakat untuk bisa berproduksi dan membangun kehidupan yang layak. Kasus-kasus perampasan hak-hak petani yang masih berlangsung, kata dia, merupakan pekerjaan besar bagi pemerintah.

Baca juga: Proyek Food Estate Dinilai Tak Berdasar pada Krisis Pangan

“Kami melihat 60 tahun sejak disahkannya UU Pokok Agraria masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan oleh pemerintah berupa konflik-konflik agraria. Ini kita lihat akan diperparah oleh Omnibus Law yang katanya dalam bulan-bulan ini akan disahkan,” ujar wanita yang disapa Yaya ini, pada Konferensi Pers Petani Tolak Omnibus Law, Rabu, (23/09/2020).

Ia mengatakan peringatan Hari Tani kali ini merupakan momentum gerakan rakyat untuk memperjuangkan gerakan lingkungan, masyarakat adat, buruh, petani, dan warga miskin kota. “Sebagai rakyat yang memiliki hak atas ruang hidup yang dijamin oleh konstitusi, sudah saatnya kita semua bergerak. Ini tanda peringatan bagi pemerintah dan negara untuk tidak lagi mengabaikan suara rakyat di tengah pandemi Covid-19 yang sebenarnya membuat banyak kelompok marginal semakin terhimpit,” ucapnya.

Lahan Pertanian

Setiap tahun sekitar 150 ribu hektare lahan pertanian berkurang. Foto: shutterstock

Omnibus Law Mengancam Nasib Petani

Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang tengah digodok pemerintah dan legislatif juga diperkirakan akan membuat nasib rakyat semakin terhimpit. Juru Bicara Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPI) Dewi Kartika menyebut, undang-undang sapu jagat atau omnibus law itu bukan hanya mengancam nasib buruh, tapi juga jutaan petani. Ia menilai ruu ini justru mempermudah dan memuluskan praktik perampasan tanah.

“Pemerintah maupun DPR RI masih tidak melihat protes meluas dari seluruh elemen gerakan rakyat termasuk kaum petani yang menyatakan sikapnya menolak secara keseluruhan RUU Cipta Kerja,” ujarnya.

Baca juga: Konflik Agraria dan Sumber Daya di Tengah Pandemi

KNPI juga mencatat sejak Maret sampai dengan September tahun ini terdapat 35 kejadian konflik agraria berupa perampasan tanah, penggusuran, intimidasi, hingga surat ancaman agar petani dan masyarakat adat bersedia keluar dari wilayah hidupnya.

Dewi menyampaikan, beberapa kasus di antaranya terjadi di daerah Urut Sewu, Kabupaten Kebumen, Jawa tengah. Konflik antara tentara dengan petani itu disebut berakhir dengan penghancuran kebun-kebun pertanian milik petani di sana. Kemudian konflik agraria di Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, dialami masyarakat adat disertai dengan penangkapan enam anggota komunitas. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh penerbitan Hak Guna Usaha dan pelepasan kawasan hutan untuk perusahaan sawit swasta.

Baca juga: Penangkapan Ketua Adat dan Konflik Agraria di Laman Kinipan

Sementara di Sumatra Utara dan Lampung, terjadi penggusuran oleh PT Perkebunan Nusantara kepada masyarakat adat dan petani ladang. Perusakan tanaman pertanian dan ladang tersebut terjadi di Langkat, Sumatra Utara. Sampai sekarang konflik masih berlangsung dan melibatkan ratusan anggota Tentara Nasional Indonesia hingga Brimob.

“Jadi, rentetan 35 letusan konflik agraria itu sebenarnya menandakan situasi kontra produktif dengan narasi Presiden yang meminta petani untuk bekerja sama, bergotong royong, dan memastikan krisis pangan tidak terjadi. Selain perampasan tanah, penggusuran, penangkapan petani,  masyarakat adat, nelayan, termasuk aktivis-aktivis yang mengadvokasi hak-hak atas tanah dan wilayah hidup masyarakat, terus dilakukan,” ucap Dewi.

Penulis : Zury Muliandari dan Dewi Purningsih

Editor: Devi Anggar Oktaviani

Top