Jakarta (Greeners) – Indonesia harus memperkuat sistem peringatan dini dan literasi kebencanaan di masyarakat. Sebagai salah satu negara rawan bencana di dunia, hal ini sangat krusial dalam penanggulangan kebencanaan. Apalagi menurut pengamat hampir 60 % masyarakat tak tahu kalau ternyata hidup di wilayah rawan bencana.
Ketua Pusat Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin (Unhas) Adi Maulana menyatakan, dalam hal pengembangan sistem instrumen peringatan dini, pemerintah perlu bekerja sama dengan negara-negara yang telah memiliki instrumen sistem peringatan dini yang lebih maju.
Secara institusi, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Indonesia sesuai UU No 24 Tahun 2007 Tentang Pembentukan BNPB masih tergolong lebih muda dibanding negara lain yang juga memiliki tingkat kerawanan bencana yang tinggi.
“Dalam hal ini pemerintah Indonesia harus lebih terbuka dan harus bekerja sama dengan negara yang tingkat kerawanan bencana yang sama. Tapi lebih dulu dan canggih dalam hal alat peringatan dininya, misalnya negara Jepang,” katanya kepada Greeners, Kamis (24/2).
Indonesia terletak antara tiga pertemuan lempeng besar yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng Pasifik. Posisi Indonesia yang terletak di jalur khatulistiwa, yakni transisi antara kutub utara dan selatan juga berpotensi besar terhadap bencana hidrometeorologi.
Pemicu lainnya yaitu perubahan iklim yang ekstrem turut menyebabkan bencana seperti banjir, kebakaran hutan dan lahan, kekeringan hingga angin puting beliung.
Adi tak memungkiri belakangan ini Indonesia justru kerap mengalami fenomena alam yang penyebabnya karena faktor perubahan iklim. Misalnya fenomena La Nina dan Madden Julian Oscillation yang melintas di wilayah Indonesia, sehingga memicu kondisi anomali curah hujan dan cuaca ekstrem.
Rawan Bencana, Masyarakat Perlu Peningkatan Literasi Kebencanaan
Banyaknya berbagai jenis potensi bencana di Indonesia perlu pemerintah sikapi serius. Ia menilai pemerintah Indonesia juga perlu memerhatikan literasi kebencanaan masyarakat Indonesia.
Menurutnya masih banyak masyarakat Indonesia yang tak tahu bahwa mereka hidup di daerah yang rawan bencana. “Meski sistem peringatan dini nantinya sudah berjalan optimal, tapi kalau masyarakat kurang bisa memanfaatkan atau menggunakannya maka percuma saja, tak akan maksimal,” paparnya.
Menurut Adi, sekitar 60 % masyarakat Indonesia tidak tahu bahwa mereka hidup di daerah yang rawan bencana.
“Peningkatan literasi diiringi dengan kesigapan pemberian early warning system (EWS) ke masyarakat akan membuat tingkat trust mereka ke pemerintah semakin tinggi. Sehingga kalau ada peringatan misalnya badai maka mereka akan membatasi aktivitas ke luar rumah,” imbuhnya.
Pernyataan Adi ini menanggapi arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait perlunya antisipasi terhadap perubahan iklim yang semakin mengerikan. Pengurangan risiko bencana dengan memastikan infrastruktur dan penyiagaan evakuasi dalam rangka penanggulangan bencana harus pemerintah lakukan.
“Karena kita tahu perubahan iklim dunia nanti arahnya akan semakin mengerikan. Semua negara sudah mengalami bencana yang sebelumnya tidak ada kemudian ada,” kata Jokowi dalam pembukaan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Penanggulangan Bencana 2022 secara virtual di Istana Kepresidenan Bogor, Rabu (23/2).
Perkuat Infrastruktur Guna Pengurangan Risiko Bencana
Pengurangan risiko bencana, terutama tsunami bisa semua pihak lakukan dengan memastikan vegetasi sebagai penghambat ombak tsunami. Misalnya melalui memperbanyak penanaman mangrove, sipah, waru laut, ketapang dan kelapa di daerah pesisir, terutama yang memiliki potensi bencana tsunami.
Selain itu, Jokowi menyebut pentingnya penyiagaan jalur evakuasi serta memastikan instrumen-instrumen peringatan dini. Upgrade dan pengecekan instrumen berupa alat peringatan dini sangat penting. “Instrumen peringatan dini harus terus di-upgrade dan dicek secara rutin. Ini yang sering kita tidak disiplin di sini. Cek secara rutin,” tegasnya.
Peranan BNPB sebagai pilar utama penanganan bencana di Tanah Air harus optimal. Selain itu, Presiden Jokowi juga mengarahkan poin lainnya yakni terkait dengan kesiagaan, responsif dan adaptif yang harus menjadi bagian dari budaya kerja BNPB.
Selanjutnya pemerintah pusat dan daerah harus aktif dalam program pembangunan berorientasi tanggap bencana. Jokowi juga menyorot perlunya pembangunan sistem edukasi kebencanaan pada wilayah rawan bencana. Budaya sadar bencana harus dimulai sejak dini baik dari individu, keluarga, komunitas, sekolah hingga masyarakat.
Sementara itu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Suharyanto mengungkap pada tahun 2021 terjadi sebanyak 5.402 kejadian bencana dengan jumlah korban mencapai 728 jiwa. Adapun untuk total kerugian material mencapai lebih dari 150.000 rumah dan 4.400 fasilitas umum mengalami rusak berat.
Berdasarkan kajian risiko bencana, edukasi serta literasi kebencanaan, penyiapan sistem peringatan dini juga mendukung upaya kedaruratan dan evakuasi masyarakat.
“Keberadaan relawan sampai media seperti wartawan peduli bencana di tiap daerah telah mendukung upaya sosialisasi dan edukasi di tingkat masyarakat,” kata Suharyanto.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin