Jakarta (Greeners) – Peringatan Hari Bumi 2020 menginjak tahun ke-50. Situasi yang tengah terjadi saat ini menandakan bumi sedang tidak baik-baik saja. Keberlangsungan planet ini juga memiliki tantangan besar dan tidak terelakkan seperti krisis iklim global.
“Apa yang terjadi di bumi merupakan refleksi apa yang kita lakukan,” ucap Soeryo Adiwibowo Dosen Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor, Jumat, 17 April 2020.
Soeryo menyampaikan, bencana longsor, banjir, krisis pangan, dan iklim adalah akibat dari aktivitas sosial, ekonomi, politik manusia. Pandemi Covid-19 yang sedang mewabah di dunia, kata dia, juga merupakan dampak dari tindakan manusia selama ini.
“Sekarang kita dimasukkan ke rumah secara kolektif akibat tindakan yang kita perbuat. Dibuat sadar agar memperbaiki langkah-langkah berikutnya untuk menjaga bumi,” ujar Soeryo.
Baca juga: Presiden Jokowi Evaluasi Pelaksanaan PSBB
Menurutnya, untuk menghadapi krisis iklim diperlukan aksi nyata dari seluruh masyarakat. Pada pandemi Covid-19 ini, misalnya, banyak orang bahu-membahu membantu tenaga medis maupun sesama masyarakat untuk bertahan hidup. Hal itu juga bisa diterapkan dalam aksi iklim dengan mengurangai emisi, menjaga lingkungan, dan mengelola sampah.
“Jangan berpikir terlalu berat, lakukan yang terbaik, sekecil apa pun memiliki kontribusi untuk bumi kita,” kata Soeryo.
Beberapa tanda krisis iklim yang sudah terjadi di Indonesia antara lain meningkatnya bencana hidrometeorologis secara drastis, khususnya banjir, tanah longsor, dan angin kencang. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana menunjukkan sejak 2002 sampai 2019 terjadi 26 kali lipat peningkatan bencana secara signifikan. Selama periode tersebut terjadi penambahan bencana dari 143 menjadi 3.768 kejadian.
Baca juga: 5 Hewan Terkonfirmasi Positif Covid-19
Dr. Mahawan Karuniasa, Dosen Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia dan Ketua Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIK) mengatakan dampak krisis iklim telah terjadi di Indonesia terutama di sektor ketersediaan pangan.
“Dalam kondisi pandemi saat ini tidak ada pilihan lain produksi, pengaturan stok perlu dijaga karena ketidakpastian berapa lama pandemi akan berakhir,” kata dia.
Krisis iklim secara umum mengurangi produktivitas pertanian karena berkaitan dengan perubahan pola iklim. Meningkatnya cuaca ekstrem, kata dia, juga menyebabkan tanaman pangan kekurangan air atau sebaliknya dan keduanya mengurangi produktivitas.
Mahawan mencontohkan dampak krisis iklim terhadap pertanian di daerah Cirebon, Jawa Barat, menyebabkan produksi padi menurun drastis hingga rata-rata 3,72-3,84 ton per hektar di musim kering. Sedangkan pada saat musim hujan, jumlahnya dapat mencapai 6,75-8,02 ton per hektar. “Angka tersebut dengan rata-rata dua kali masa panen,” ucapnya.
Masalah lain juga terjadi di aspek konsumsi pangan. Ia menuturkan kecenderungan konsumsi terhadap komoditas pangan tidak relevan dengan ekosistem. Misalnya masyarakat di daerah yang secara ekologis dan sosiologis mengonsumsi sagu, tetapi diganti dengan beras karena dorongan kebutuhan pangan. Menurut Mahawan, hal tersebut menyebabkan kerentanan ekosistem terhadap krisis iklim. Di samping itu juga berpotensi meningkatkan kerawanan banjir dan longsor akibat berubahnya lingkungan.
Pada aspek distribusi, kata dia, kualitas produk dan kondisi infrastruktur menjadi tantangan menghadapi krisis iklim. Akibatnya, harga akan meningkat saat tiba di tangan konsumen. Sedangkan pendapatan petani tidak bertambah karena terbebani biaya distribusi. Ia menuturkan kondisi ini menempatkan Indonesia di papan atas dalam hal kehilangan bahan pangan yang mencapai 300 kilogram per kapita.
“Jadi, strategi pertama dalam swasembada pangan adalah pengaturan jumlah penduduk. Kedua, perlu membangkitkan gaya hidup untuk tidak mengonsumsi makanan yang sesuai ekosistem dan tidak berlebihan, meskipun mampu membelinya. Ketiga, berkaitan dengan produksi, lahan akan terbatas, peningkatan produksi tidak terhindarkan. Perlu mengembangkan teknologi tinggi melalui modifikasi genetika tanaman pangan,” ujar Mahawan.
Aksi Masyarakat Dorong Pengendalian Iklim
Mahawan mengatakan saat ini dampak krisis iklim masih sangat kompleks dan dinamis. Oleh karenanya, dibutuhkan berbagai aksi untuk menghentikannya. Ia menilai berbagai kampanye yang dilakukan anak-anak muda perlu didukung, sebab, generasi tersebut yang akan paling terdampak. Walaupun aspek mitigasi atau reduksi emisi di sektor energi dan kehutanan, yang sekaligus sumber emisi terbesar pada periode 2020-2030, bergantung pada kebijakan pemerintah.
“Aksi masyarakat membantu untuk mendorong pemerintah lebih serius dan efektif dalam melakukan pengendalian perubahan iklim,” ucapnya.
Hari Bumi pertama di tahun 1970 merupakan suatu aksi yang menyuarakan kesadaran masyarakat mengenai lingkungan. Tahun ini, Hari Bumi diperingati dengan tema global aksi iklim. Sejarah tercetusnya Hari Bumi berawal pada 1969 dari inisiatif seorang Senator Amerika Gaylord Nelson. Ia dianggap sebagai salah satu pemimpin gerakan lingkungan modern. Nelson kemudian mengembangkan gagasan untuk Hari Bumi setelah terinspirasi oleh gerakan anti-perang yang terjadi di kampus di sekitar Amerika Serikat. Menurut Nelson, ia membayangkan demonstrasi lingkungan akar rumput berskala besar yang bertujuan mendorong aksi politik dan isu lingkungan ke dalam agenda nasional.
Senator dari Wisconsin tersebut lalu merekrut Denis Hayes, seorang aktivis muda yang pernah menjabat sebagai presiden mahasiswa di Universitas Stanford. Ia terpilih menjadi koordinator nasional Hari Bumi dan bekerja dengan para relawan mahasiswa serta beberapa anggota staf dari kantor Senat Nelson.
Menurut Nelson, Hari Bumi tercipta karena respons spontan di tingkat akar rumput. Sebanyak 20 juta demonstran dan ribuan sekolah maupun komunitas lokal turut serta berpartisipasi. Hari Bumi juga telah menginspirasi 20 juta warga Amerika atau 10 persen dari populasi di sana untuk melakukan protes mengenai kerusakan lingkungan.
Baca juga: RUU Cipta Kerja Berisiko Gagalkan Komitmen Iklim Indonesia
Pada dekade berikutnya dampak dari gerakan lingkungan tersebut membuahkan beberapa undang-undang lingkungan paling populer dan kuat di Amerika, yakni pembaruan Undang-Undang Udara Bersih dan penciptaan Undang-Undang Air Bersih, Undang-Undang Spesies yang Terancam Punah dan pembentukan Badan Perlindungan Lingkungan.
Tahun ini, bumi memiliki tantangan lingkungan yang berbeda dan jauh lebih besar, terutama krisis iklim global. Meskipun terdapat ancaman terhadap kelangsungan hidup manusia, berbagai negara masih mengabaikan perlindungan lingkungan hingga gagal memenuhi Kesepakatan Paris (Paris Agreement) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Sementara itu, gerakan lingkungan di dunia juga mencapai momentumnya berkat energi dan kemarahan dari aksi kaum muda.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani