Jakarta (Greeners) – Sebanyak 28 satwa liar dengan tiga jenis spesies telah dilepasliarkan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Satwa tersebut terdiri dari empat individu kukang sumatera (Nycticebus coucang), empat individu beruk (Macaca nemestrina), dan dua puluh individu monyet ekor panjang (Macaca fascicularis).
Program translokasi dan pelepasliaran satwa dilakukan oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat, Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (BBTNBBS), Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu, dan mitra kerja Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI). Kegiatan ini merupakan inisiatif berkelanjutan untuk mendukung keanekaragaman hayati dan konservasi satwa liar di Indonesia.
Sebelum pelepasliaran, satwa tersebut telah menjalani proses rehabilitasi intensif di pusat rehabilitasi YIARI yang bekerja sama dengan BBKSDA Jawa Barat. Setelah melalui proses rehabilitasi, satwa akan dikembalikan ke alam.
Beberapa satwa tersebut merupakan penyerahan dari masyarakat Jawa Barat dan penyitaan dari aktivitas perdagangan ilegal oleh Pihak Kepolisian (Polda Metro Jaya). Bahkan, ada pula satwa yang ditemukan terlibat dalam konflik di sekitar area rehabilitasi.
Proses rehabilitasi tersebut meliputi penilaian mendalam terhadap kesehatan fisik dan perilaku, memastikan mereka siap beradaptasi dengan lingkungan aslinya.
Translokasi dan pelepasliaran satwa ini memiliki peran penting dalam memulihkan populasi satwa habitat asli mereka, mengurangi konflik antara manusia dan satwa, serta mendukung pemulihan ekosistem yang terganggu.
Selain membantu memastikan kelangsungan hidup satwa-satwa di alam liar, kegiatan ini juga telah menegaskan komitmen bersama dalam menjaga keanekargaman hayati Indonesia untuk generasi mendatang.
Hentikan Pemeliharaan Satwa Liar
Peneliti dan aktivis lingkungan, Rheza Maulana mengungkapkan pengalamannya saat ikut pelepasliaran ini. Baginya, translokasi kali ini cukup unik. Sebab, satwa yang akan petugas lepasliarkan terdiri dari jenis yang dilindungi dan belum dilindungi di Indonesia.
“Artinya, semua satwa liar itu sejatinya memang harus di alam, terlepas apakah mereka dilindungi atau tidak. Satwa liar yang tidak dilindungi kalau dieksploitasi terus-menerus, populasinya dapat terancam dan akhirnya menjadi dilindungi juga. Jadi, semua sama-sama penting dan harus kita kembalikan ke habitatnya,” kata Rheza kepada Greeners lewat keterangan tertulisnya, Selasa (30/7).
Rheza berharap apabila ada masyarakat yang masih berkeinginan memelihara satwa liar, sebaiknya mereka mempertimbangkan kembali dan mengurungkan niatnya.
“Demi memenuhi kesenangan belaka, satwa-satwa ini diambil dari hutan supaya bisa dibeli. Lalu, ketika orang yang membeli sudah tidak sanggup memelihara, entah karena satwanya menjadi buas atau menyebabkan konflik, satwa-satwa itu harus diselamatkan untuk direhabilitasi dan dikembalikan ke alam. Ini sudah seperti lingkaran setan saja, mau sampai kapan seperti ini terus?” ungkapnya.
Menurut Rheza, masyarakat sudah semestinya menghentikan siklus ini dengan cara tidak membeli dan memelihara satwa liar. Masyarakat juga perlu tahu bahwa menyayangi satwa bukan dengan cara memelihara di rumah, tetapi memastikan satwa-satwa tersebut terus lestari di habitatnya.
“Kita jaga mereka dan kita jaga juga habitat mereka. Saya menantikan masa depan ketika tidak ada lagi pelepasliaran satwa. Sebab, semua satwa sudah lestari di alam,” kata Rheza.
Ekosistem di TN Bukit Barisan Selatan Ideal
Resort Balik Bukit di TNBBS terpilih menjadi lokasi pelepasliaran. Sebab, lokasi itu menyediakan ekosistem yang ideal untuk keberlangsungan hidup berbagai satwa.
Selain itu, area TNBBS juga menawarkan berbagai tipe habitat. Mulai dari hutan sekunder hingga tepi hutan dan perkebunan, yang secara keseluruhan telah mendukung kehidupan kukang, monyet ekor panjang, dan beruk.
Faktor penting lain dalam pemilihan lokasi adalah ketersediaan pakan alami yang melimpah. Misalnya tumbuhan, serangga, reptil, dan burung kecil. Selain itu, tingkat kesadaran dan dukungan dari masyarakat setempat juga membantu meminimalkan potensi ancaman dan gangguan terhadap satwa-satwa yang dilepasliarkan.
Rangkaian kegiatan pelepasliaran turut mengundang masyarakat setempat di Kecamatan Balik Bukit untuk berpartisipasi dalam acara pembukaan rangkaian pelepasliaran satwa. Pada acara pembukaan, petugas mengimbau masyarakat untuk lebih peduli terhadap kelangsungan hidup satwa liar di alam. Harapannya, masyarakat juga dapat berpartisipasi aktif dalam menjaga keutuhan wilayah konservasi TNBBS.
Hadapi Tantangan saat Pelepasliaran
Rheza mengatakan, pelepasliaran ini tidak terlepas dari tantangan pada lintasan yang harus ditempuh. Tim harus berjalan kaki selama beberapa jam masuk hutan, sambil menggendong kandang transfer berisi satwa di kawasan yang berbukit.
“Banyak sekali tanjakan yang terjal, berjalan di pinggir jurang. Sehingga, harus basah-basahan melewati sungai. Saya sudah pernah melakukan translokasi satwa beberapa kali sebelumnya. Namun, kali ini adalah yang paling sulit. Sulitnya, saya sampai tidak mampu melanjutkan pendakian dan harus bergantian membawa satwa dengan rekan dari YIARI. Di satu sisi merasa malu, tapi di sisi lain ya saya justru salut dan takjub kepada para polisi hutan, jagawana, dan rekan-rekan YIARI,” ujar Rheza.
Rheza menyaksikan pengorbanan yang harus tim tempuh demi mengembalikan satwa-satwa ini ke hutan. Maka dari itu, upaya seperti ini penting sekali untuk masyarakat ketahui.
YIARI Lakukan Patroli untuk Jaga Satwa Liar
Dokter Hewan YIARI, Imam Arifin mengatakan setelah pelepasliaran ini, YIARI akan melakukan patroli dan monitoring, terutama di lokasi yang berbatasan langsung dengan pemukiman.
“Satwa yang pernah direhabilitasi ada kemungkinan untuk mendekat ke manusia dan menimbulkan interaksi negatif. Maka dari itu, patroli dan monitoring diperlukan. Apabila tanda satwa mendekat ke pemukiman, akan diusahakan untuk dihalau kembali ke hutan,” kata Imam.
Imam berharap jumlah satwa liar di alam semakin meningkat sehingga turut menjaga keseimbangan ekosistem. Masyarakat juga perlu berperan aktif dalam melindungi satwa dan habitatnya.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia