Jakarta (Greeners) – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkap tahun 2023 menjadi rekor tahun terpanas. Tak hanya Indonesia yang mengalaminya, cuaca panas juga menyerang banyak tempat di seluruh belahan dunia.
“Tahun ini adalah tahun penuh rekor temperatur. Kondisi ini tidak pernah terjadi sebelumnya, di mana heatwave (gelombang panas) terjadi di banyak tempat secara bersamaan. Juli 2023 lalu, heatwave yang melanda Amerika Barat bahkan mencapai 53 derajat Celcius,” ungkap Kepala BMKG Dwikorita Karnawati melalui keterangan rilisnya.
Dwikorita menyebut, 2023 sangat berpotensi menjadi tahun dengan temparatur terpanas sepanjang sejarah. Hal itu terbukti dengan suhu permukaan di beberapa tempat di dunia yang mencapai suhu di atas 40°C.
Berdasarkan data World Meteorological Organization (WMO), Juli menjadi bulan terpanas sepanjang sejarah. Sebagai contoh, pada Juli tahun ini suhu di wilayah Sardinia, Italia mencapai 48°C. Kemudian, di Rhodes, Yunani 49°C, dan Maroko serta Afrika Utara mencapai lebih dari 47°C. Sementara itu, Amerika Serikat tercatat mencapai suhu maksimal 53°C dan selama 31 hari berurutan mencapai suhu lebih dari 43°C.
BACA JUGA: BMKG Perkuat Sistem Peringatan Dini Multibencana
Secara umum, Indonesia turut merasakan dampak menghangatnya suhu bumi dalam lima bulan terakhir sejak Juni hingga Oktober. Namun, berdasarkan data BMKG, suhu maksimum di Indonesia pada periode tersebut mencapai 38 °C. Sebab, 60% luas area Indonesia adalah laut dengan atmosfer yang relatif lembap, sehingga menjadi penyangga kenaikan temperatur.
Menurut Dwikorita, situasi ini merupakan dampak dari perubahan iklim. Dampaknya telah memberi tekanan tambahan pada sumber daya air yang sudah langka dan menghasilkan water hotspot.
Realitas evolusi iklim tersebut menjadikan tahun 2023 berpeluang menjadi tahun terpanas sepanjang sejarah pencatatan iklim, mengalahkan tahun 2016.
Perubahan Iklim Ancam Stok Pangan Dunia
Tak sekadar itu, kondisi tersebut telah meningkatkan kerentanan terhadap stok pangan dunia. Bahkan, Food and Agriculture Organization (FAO) memprediksi jika hal ini terus terjadi, maka di tahun 2050 mendatang bencana kelaparan akan terjadi akibat krisis pangan.
Untuk mencegah hal tersebut terjadi, lanjut Dwikorita, pemerintah bersama semua elemen masyarakat harus bekerja sama dan bergotong royong dalam melakukan aksi mitigasi. Mulai dari penghematan listrik, air, pengelolaan sampah, pengurangan energi fosil, serta menggantinya dengan kendaraan listrik, dan cara ramah lingkungan lainnya.
Implementasi strategi mitigasi dan adaptasi, menurut Dwikorita, harus digencarkan di seluruh wilayah Indonesia tanpa terkecuali. Apalagi, tambahnya, suhu udara permukaan di Indonesia diproyeksikan akan terus naik di masa mendatang.
BMKG Dukung Mitigasi Perubahan Iklim
Dalam kesempatan tersebut, Dwikorita juga menjelaskan peran penting BMKG dalam mendukung adaptasi dan mitigasi di luar sebagai penyedia data. BMKG, kata dia, memiliki informasi knowledge dan wisdom terkait perubahan iklim di Indonesia (dan wilayah sekitarnya).
Informasi yang BMKG miliki dapat bermanfaat untuk kepentingan perencanan pembangunan nasional. Sebab, harus ada pelibatan BMKG untuk mendukung aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
“Sistem peringatan dini BMKG tidak hanya menitikberatkan pada pemanfaatan teknologi. Namun, juga mendorong pengetahuan dan kearifan lokal masyarakat. Kolaborasi di antara keduanya dapat memperkuat early warning yang berdampak pada early action,” ujarnya.
Negara ASEAN Antisipasi Ancaman Krisis Pangan
Pada kesempatan berbeda, Dwikorita juga mendorong kolaborasi negara-negara di ASEAN. Hal itu untuk mengantisipasi ancaman krisis pangan akibat perubahan iklim.
Menurutnya, sudah selayaknya kemajuan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Khususnya, di seluruh negara ASEAN diiringi komitmen kebijakan terhadap lingkungan dan ketahanan pangan.
“Perubahan iklim yang terjadi saat ini berdampak serius bagi perekonomian seluruh negara tanpa terkecuali, termasuk dalam hal ketahanan pangan,” ujar Dwikorita.
BACA JUGA: Suhu Tahun 2023 Diprediksi Bakal Lebih Panas
Sebagai informasi, Federation of ASEAN Economists Association (FAEA) Conference ke-46, merupakan konferensi tahunan yang diselenggarakan oleh FAEA, sebuah organisasi profesional beranggotakan asosiasi ekonom dari 7 negara. Di antaranya 5 negara ASEAN beserta Vietnam dan Kamboja.
Sebanyak 200 peserta hadir dalam acara tersebut, baik yang berlatarbelakang akademisi, bisnis, maupun pemerintahan. Ada pula praktisi, pembuat kebijakan, dan mahasiswa dari negara-negara anggota ASEAN serta mitra lainnya.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia