Jakarta (Greeners) – Car Free Day (CFD) atau Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB), pertama kali digelar di Jakarta pada tahun 2002. Saat ini, CFD sudah memasuki 17 tahun pelaksanaannya, dan masih rutin digelar setiap hari Minggu.
Secara prinsip, awal tujuan Car Free Day adalah untuk mengurangi ketergantungan pada penggunaan kendaraan pribadi dalam upaya peningkatan kualitas udara, khususnya di kota-kota seluruh Indonesia serta mengubah karakter masyarakat kota untuk lebih environmental friendly.
Sebagai inisiator Car Free Day pertama kali, Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin, mengatakan bahwa CFD dinilai gagal sebagai trigger dalam mengendalikan pencemaran udara karena dikelola oleh Pemerintah Daerah sebagai pasar kaget.
BACA JUGA : Hari Lingkungan Hidup Sedunia, Melawan Ancaman Polusi Udara
Serta, esensi CFD sebagai media penyampai pesan untuk mengurangi ketergantungan pada penggunaan kendaraan pribadi, dengan beralih berjalan kaki, bersepeda dan menggunakan angkutan massal, juga gagal.
“Boro-boro kualitas udara setempat ketika diselenggarakan Car Free Day membaik, justru ada polusi asap genset SIM keliling, bakar sate, bakar roti, mi ayam, bakso dan lain-lain. Padahal jika berhasil, yang ditandai beralihnya persentase penduduk yang berjalan kaki, bersepeda dan angkutan umum massal, akan efektif menekan pencemaran udara ambient,” ujar Ahmad saat dihubungi Greeners, Rabu (18/06/2019).
Ahmad mengatakan penyebab tidak efektifnya CFD ini, disebabkan oleh pengelolaannya yang tidak sesuai dengan SOP Pergub Nomor 12 Tahun 2016, serta Pemda atau Dinas terkait yang tidak memahami filosofi dan esensi dibuatnya hari bebas kendaraan bermotor.
“Dari 2001 sampai 2005 kami yang kelola (NGO) seperti KPBB, WALHI Jakarta, Pelangi, Bike2Work, dan NGO Lingkungan lainnya. Lalu, pada tahun 2004 kami masukkan sebagai kewajiban pemda untuk menyelenggarakannya, melalui mandat Perda 2/2005 tentang pengendalian pencemaran udara. Sehingga Pemda mulai handle penyelenggaraannya pada September 2007. Namun sayangnya, pengelolaannya tidak baik,” ujar Ahmad.
Bike2Work Indonesia adalah salah satu NGO yang saat ini menarik diri dari aktivitas dan pengelolaan CFD, karena menilai CFD sudah tidak sesuai dengan tujuan awal didirikan.
Ketua Umum Bike2Work Indonesia Putut Sudaryanto, mengatakan bahwa masyarakat nampaknya belum tahu betul tujuan dari penyelenggaraan CFD, sehingga mobilitas masyarakat menuju area CFD masih menggunakan kendaraan pribadi bahkan di banyak kota tercipta kantong-kantong parkir di sekitar area CFD.
“Sepertinya menyimpang dari target/tujuan ya. Kami menilai penyelenggaraan tidak berupaya mencapai tujuan awal. Oleh karenanya saya sebagai bagian dari B2W Indonesia untuk saat ini menarik diri dari hiruk pikuk penyelenggaraan CFD Indonesia,” ujarnya.
BACA JUGA : Dampak Tingginya Polusi Udara, 48 Warga Jakarta Akan Gugat Pemerintah
Namun, hal lain disampaikan oleh Kepala Bidang Peran Serta Masyarakat Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Djoko Rianto, yang tidak menampik bahwa ada kegiatan positif CFD, yaitu berjalannya roda perekonomian mikro.
“Sebagai sarana interaksi antar warga, sebagai sumber pendapatan tambahan sebagian warga, sarana warga berolah raga dan menggerakkan roda perekonomian mikro. Selain itu, kami juga masih menilai CFD masih cukup efektif dalam upaya pengurangan polusi di tingkat lokal. Secara umum tingkat polusi di hari minggu pada saat CFD mengalami penurunan,” pungkasnya.
Sebagai informasi, Hari Lingkungan Hidup Sedunia (HLH) yang diperingati setiap tanggal 5 Juni, tahun ini mengusung tema perlawanan terhadap polusi udara dengan kampanye tagar #BeatAirPollution. Aksi global ini dikelola oleh United Nations Environment Program (UNEP) untuk dijadikan panduan peringatan di seluruh dunia.
Penulis: Dewi Purningsih