Jakarta (Greeners) – Satelit Modis sensor Terra Aqua dari NASA mendeteksi adanya 151 hotspot atau titik api di wilayah Indonesia pada Minggu (13/03) pukul 05.00 WIB. Sebaran titik api tersebut berada di Kalimantan Timur sebanyak 76 titik, Riau 45 titik, Aceh 11 titik, Kalimantan Utara 7 titik, Sulawesi Tengah 2 titik, Gorontalo 2 titik, Sulawesi Selatan 2 titik, Sumatera Selatan 1 titik, Sumatera Utara 1 titik, Maluku Utara 1 titik, dan Jawa Timur 1 titik.
“Meskipun berbagai upaya antisipasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dilakukan oleh pemerintah bersama pemerintah daerah, dunia usaha dan lainnya, namun karhutla terus terjadi, khususnya di Riau dan Kalimantan Timur,” ungkap Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta, Senin (14/03).
Menurut Sutopo, rapat koordinasi dan gelar kesiapsiagaan sudah dilakukan berulangkali. Bahkan saat ini Pemerintah Daerah Riau telah menetapkan status Siaga Darurat Karhutla sejak Senin (07/03) hingga tiga bulan ke depan.
Enam kabupaten di Riau juga telah menetapkan Status Siaga Darurat Karhutla yaitu Kabupaten Meranti, Bengkalis, Dumai Rokan Hilir, Siak dan Pelalawan. Penetapan status ini dalam rangka memudahkan untuk koordinasi dan komando dalam penanganan karhutla. Juga untuk kemudahan akses menggunakan potensi yang ada seperti penggunaan anggaran, personel, sumber daya lain dan bantuan dari BNPB.
Ke 45 titik api yang ada di Riau, lanjut Sutopo, tersebar di Kabupaten Bengkalis (16 titik api), Indragiri Hulu (2), Kepulauan Meranti (20), Pelalawan (4), Rokan Hilir (1), dan Siak (2). Sedangkan 76 titik api di Kalimantan Timur tersebar di Kabupaten Berau (9), Kutai Kartanegara (16), Kutai Timur (50), dan Bontang (1).
Kondisi cuaca di Riau dan Kalimantan Timur terpantau kering. Wilayah di Riau saat ini memasuki kemarau periode pertama hingga April mendatang. Namun kemarau yang terjadi tidak sekering saat kemarau periode kedua pada Juli hingga September mendatang. Saat ini kondisi air sumur dan air permukaan sudah mulai menipis sehingga menyulitkan petugas saat memadamkan api.
“Sesungguhnya karhutla di Riau dan Kalimantan Timur sudah berlangsung hampir tiga minggu terakhir dengan jumlah hotspot yang fluktuatif. Jumlah total hotspot di Kalimantan Timur lebih banyak dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Memang terjadi anomali, dimana karhutla sebelumnya di Kalimantan Timur relatif sedikit dibandingkan dengan yang lain,” tambahnya.
Penyebab karhutla dikatakan Sutopo masih tetap sama, yaitu akibat kecerobohan dan pembakaran. Artinya disengaja oleh oknum yang membakar hutan dan lahan untuk pembersihan dan pembukaan lahan. Lokasi karhutla terjadi di lahan masyarakat, perkebunan pada konsesi perusahaan, dan di hutan. Seperti karhutla yang terjadi pada Senin (14/03) di Kabupaten Meranti berada di lahan perkebunan swasta.
Kepala BNPB, Willem Rampangilei sempat menggulirkan kebijakan insentif bagi desa-desa yang berhasil menjaga wilayahnya tidak terbakar dengan pola pemberdayaan masyarakat. BNPB menyatakan akan membantu BPBD dalam pengendalian karhutla seperti pengerahan helikopter dan pesawat untuk water bombing, hujan buatan, bantuan pendanaan untuk operasional personil, aktivasi posko, dan lainnya.
Willem juga mengatakan antisipasi karhutla pada tahun ini lebih baik dibandingkan sebelumnya. Ia menyatakan bahwa kejadian karhutla tahun 2015, kemungkinan kecil tidak akan berulang. “Ini dilakukan sebab kondisi tahun 2016 tidak ada fenomena El Nino dan antisipasi sudah jauh lebih baik dilakukan,” ujarnya.
Lebih jauh, Willem mengungkapkan bahwa tidak mungkin menghilangkan seratus persen karhutla di Indonesia, tapi masih bisa dikurangi skala dan intensitasnya. Menurutnya, motivasi oknum masyarakat membakar lahan adalah faktor ekonomi, selain karena lebih murah dan mudah dilakukan bagi mereka untuk membuka lahan. Ia menegaskan harus ada solusi jika ingin masyarakat tidak membakar lahan.
“Lemahnya penegakan hukum juga makin menyulitkan dalam penanggulangan karhutla. Penyelesaian hukum terkait karhutla di Riau pada tahun 2013, 2014, dan 2015 hingga saat ini belum menunjukkan kemajuan yang signifikan. Akhirnya tidak memberikan efek jera bagi para pelaku pembakaran. Perusahaan perkebunan juga harus menyediakan sumberdaya dan personil yang memadai untuk menjaga wilayahnya agar tidak terbakar,” pungkasnya.
Penulis: Danny Kosasih