Jakarta (Greeners) – Noken, tas tradisional masyarakat Papua yang dibawa dengan menggunakan kepala dan terbuat dari serat kulit kayu telah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia sejak empat Desember 2012 silam dalam Sidang Badan Pendidikan dan Kebudayaan PBB (UNESCO) di Paris, Perancis. Pengakuan ini menempatkan noken Papua ke pentas kebudayaan dunia. Selain sebagai karya seni dan artefak budaya, noken Papua juga telah merajut nilai-nilai kehidupan masyarakat Papua.
Zelly Ariane, Koordinator Gerakan Papua Itu Kita mengatakan bahwa filosofi noken mulai dari pengadaan bahan baku, kerja tangan pembuatannya, fungsi dan peruntukannya, semua itu mewakili nilai-nilai asli peradaban Papua yang sangat penting bagi kelangsungan hidup kemanusiaan di tengah arus komersialisasi kehidupan di Tanah Papua.
“Ada empat nilai filosofis tercermin dalam noken Papua. Pertama, peran perempuan sebagai pembuat dan pengguna noken jaring yang dipergunakan untuk mengasuh anak dan menangani beban rumah tangga. Kedua, unsur kerja mengolah tanah, mengambil hasil hutan dan laut yang diperankan oleh kaum laki-laki. Ketiga, penanda kekerabatan dimana noken menjadi simbol persahabatan antarwarga.
“Keempat, noken menjadi penanda perubahan sosial dimana fungsi dan peran awal noken digerus oleh komersialisasi noken dan juga Tanah Papua sendiri,” jelasnya saat dihubungi oleh Greeners, Jakarta, Jumat (04/12).
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional, Abetnego Tarigan, menyayangkan naiknya noken Papua ke pentas dunia ternyata tidak diiringi oleh peningkatan perlindungan hak hidup manusia dan Tanah Papua. Menurutnya ada tiga hal yang mendasari hal ini. Pertama, industrialisasi dan komersialisasi Tanah Papua yang dimotori oleh korporasi-korporasi nasional dan multinasional telah menjadi ancaman serius. Proyek agribisnis MIFEE di Tanah Marind dan Freeport di Tanah Amungsa hanyalah pucuk-pucuk gunung es yang meminggirkan Papua.
Kedua, sejarah panjang dominasi militer dan sekuritisasi Papua tetap menjadikan Papua wilayah dengan tingkat kekerasan struktural yang tinggi. Berdirinya Kodam baru di Manokwari dan Operasi Satgas Damai Papua bentukan Badan Intelijen Nasional akan berpotensi mempertinggi iklim kontrol dan surveilans atas ruang kebebasan warga.
Sejarah kekerasan ini telah merembes ke ranah kekerasan antarwarga yang terdokumentasi dalam insiden-insiden kekerasan dalam 2 tahun terakhir. Berkas-berkas kasus pelanggaran HAM di Komnas HAM dan Kejagung tak kunjung mendapatkan keadilan.
“Ketiga, tingkat hidup orang Papua terus terekam dalam tingginya kematian ibu dan anak. Kasus-kasus kematian anak telah terekam di sejumlah tempat seperti yang tengah terjadi di Kabupaten Nduga. Belum lagi ancaman HIV dan AIDS yang telah mengancam masyarakat umum dan tidak lagi terbatas pada kalangan berisiko,” katanya.
Selanjutnya, degradasi lingkungan yang terjadi akibat pembangunan kota dan desa tanpa rencana tata ruang yang berpihak pada kepentingan warga juga telah menggerus daya dukung lingkungan. Akibatnya kota dan desa di Tanah Papua menjadi makin tidak layak huni karena tidak mampu menampung dinamika sosial antarwarga.
Akhirnya, perlindungan hak hidup manusia dan Tanah Papua tak bisa dilepaskan dari tumpang tindih kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.
“Anehnya, selagi Pemerintah Jokowi mengedepankan pendekatan kesejahteraan, kendali kebijakan justru tidak diletakkan di bawah Kemenko Perekonomian tetapi justru di bawah Kemenko Polhukam,” katanya lagi.
Hal ini menandaskan bahwa sebenarnya Papua tetap ditangani dari perspektif keamanan. Kewenangan yang dimandatkan oleh UU Otonomi Khusus ke Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat juga tidak mampu diterjemahkan ke dalam kebijakan-kebijakan yang meningkatkan kesejahteraan dan rasa keadilan di Tanah Papua.
“Dengan merayakan noken Papua setiap tanggal empat Desember, kita ditantang untuk menjahit kembali jaring-jaring kehidupan Manusia dan Tanah Papua yang terkoyak. Kepedulian dan solidaritas dibutuhkan agar kemanusiaan kita terselamatkan,” pungkasnya.
Penulis: Danny Kosasih